Baca Juga: Menkes: 156 Obat Sirup Boleh Dikonsumsi, Obat Gagal Ginjal Akut Gratis
Melalui PPPM, masyarakat telah melakukan beberapa kali perundingan dengan perusahaan. PPPM tetap berpendirian tetap mengelola tanah tanpa ada campur tangan perusahaan alias mandiri, serta memiliki secara penuh wilayah kelola dengan skema yang adil.
Di sisi lain, klaim sebagai perusahaan karet alam berkelanjutan dinilai masyarakat sipil berbanding terbalik dengan praktik di lapangan. Lantaran ada tindakan deforestasi, konflik, dan kriminalisasi terhadap masyarakat. Obligasi ‘hijau’ berkelanjutan sebesar US$95 juta untuk program pengendalian iklim, rumah satwa liar, dan produksi karet alam yang inklusif kepada PT RLU dari TLFF ternyata tidak sehijau kenyataannya. Dengan kata lain, ada dugaan praktik greenwashing oleh pihak perusahaan dalam konflik tersebut.
Baca Juga: Jutaan Remaja Alami Gangguan Mental, Hanya 2,6 Persen Konseling
Terkait konflik tersebut, Organisasi Masyarakat Sipil yang terdiri dari PPPM, Walhi Jambi, Walhi Eksekutif Nasional, Greenpeace Indonesia, Satya Bumi, Forest Watch Indonesia (FWI), KKI WARSI, Perkumpulan Hijau, Lembaga Tiga Beradik menyampaikan pernyataan bersama, yakni:
Pertama, PT. LAJ sebagai anak perusahaan PT. RLU (Michelin Group) diminta berkomitmen menerapkan No Deforestation, No Peat and No Exploitation (NDPE) dan kerangka (ESG) Environment, Social corporate Governance. Termasuk mendesak perusahaan untuk melakukan uji tuntas Hak Asasi Manusia dan Lingkungan sebagai bentuk “The corporate responsibility to respect human rights” yang diberikan United Nation Guiding Principles on Business and Human Rights (UNGPs).
Kedua, PT. LAJ diminta menghormati keinginan masyarakat tentang skema pengelolaan lahan. Serta menghentikan segala bentuk tindakan intimidatif dan represif kepada masyarakat terkait konflik lahan. Serta menindak internal perusahaan yang melakukan atau terlibat dalam intimidasi dan represif terhadap masyarakat.
Baca Juga: Hutan dan Karst di Trenggalek Terancam Rusak Akibat Eksplorasi Tambang Emas
Ketiga, mendesak pemerintah daerah dan pemerintah pusat, terutama Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) dan Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BP untuk mengevaluasi, mengawasi, dan menertibkan perizinan perusahaan terkait SDA di Jambi. Serta menindak perusahaan pelaku kejahatan lingkungan dan HAM.
Keempat, meminta Komnas HAM dan Special Rapporteur Komisi Tinggi HAM PBB terkait (Environment, Climate Change, Human Rights Defenders, dan Indigenous Peoples) untuk melakukan investigasi independen. Serta mendorong penyelesaian konflik-konflik agraria, memulihkan kerusakan lingkungan, dan hak-hak masyarakat korban. [WLC02]
Discussion about this post