Sementara pada periode sinodik yang dijadikan patokan satu gerak revolusi adalah melalui penampakan fase-fase bulan dengan lama 29,53 hari.
Lebih lanjut ia menjelaskan, orbit Bulan berbentuk elips yang mengelilingi Bumi dengan kemiringan sekitar 5,1 derajat terhadap bidang orbit Bumi saat mengelilingi matahari. Kemiringan inilah yang menyebabkan ada fase-fase Bulan, mulai dari bulan baru, sabit muda, purnama, hingga sabit tua.
“Perbedaan antara lama periode sideral dan sinodik terletak pada fakta bahwa selain mengorbit Bumi, Bulan juga mengikuti gerak orbit Bumi mengelilingi Matahari,” ucap dia.
Kapan terjadinya bulan baru?
Saat bulan baru, Bulan berada segaris dengan Matahari dan Bumi (konjungsi). Ketika Bulan mulai bergeser sedikit dari posisi ini, pengamat di Bumi dapat melihat sedikit cahaya Matahari yang terpantul dari sebagian kecil permukaan Bulan. Pantulan ini kemudian menghilang kembali seiring perubahan posisi pengamat.
Pantulan tipis cahaya matahari pada fase bulan baru inilah yang lazim dikenal sebagai hilal yang menjadi penentu awal bulan kalender lunar (Hijriah).
Mengapa Ramadan dua kali setahun?
Terdapat perbedaan 10,88 hari antara tahun matahari (kalender Masehi) dan tahun lunar (kalender Hijriah). Tahun Masehi berlangsung selama 365,24 hari. Sementara panjang tahun lunar dalam kalender Hijriah adalah 354,36 hari.
Karena perbedaan panjang hari tersebut, terdapat peluang tanggal satu bulan Hijriah tertentu dapat terjadi dua kali dalam satu tahun matahari, termasuk bulan Ramadan. Berdasarkan perhitungan, pada 2030 mendatang akan ada dua tanggal satu Ramadhan.
Terlepas dari fenomena bulan baru tersebut, penetapan dalam kalender Hijriah dapat ditempuh melalui dua cara. Baik melalui perhitungan analitik-matematis yang bersifat prediktif (hisab) dan observasi yang bersifat faktual (rukyat).
“Perlu direnungkan, keduanya pada hakikatnya merupakan fondasi utama sains modern saat ini, yakni prediksi dan observasi,” kata Husin. [WLC02]
Sumber: IPB University
Discussion about this post