Wanaloka.com – Ayam cemani (Gallus gallus domesticus) kerap menjadi sorotan karena keunikan warnanya yang serba hitam. Dalam berbagai kepercayaan masyarakat, ayam ini sering dikaitkan dengan hal mistis seperti santet atau ritual tertentu.
Pakar IPB University yang juga Dosen Sekolah Kedokteran Hewan dan Biomedis (SKHB), dokter hewan Savitri Novelina menjelaskan, dari sisi medis dan biologis, ayam cemani adalah hasil dari proses genetik yang bisa dijelaskan secara ilmiah.
Bahwa warna hitam ayam cemani berasal dari mutasi genetik yang disebut fibromelanosis, yaitu kondisi di mana pigmen melanin menyebar ke seluruh tubuh, termasuk kulit, bulu, bahkan organ dalam.
Baca juga: Kota Mataram Diguncang Lindu 5,2 Magnitudo Dirasakan Skala III MMI
“Ini murni genetika, bukan sesuatu yang berkaitan dengan hal-hal gaib,” jelas Savitri.
Ayam cemani yang juga dikenal sebagai ayam kedu, merupakan ras asli Indonesia. Awalnya dipelihara masyarakat untuk keperluan upacara adat dan pengobatan tradisional. Lantaran warna tubuhnya yang pekat dan berbeda dari ayam lainnya, ayam ini kemudian berkembang menjadi simbol spiritual dalam beberapa budaya lokal.
Menurut Savitri, kepercayaan terhadap ayam cemani seharusnya tidak menghalangi pemahaman ilmiah dan praktik pemeliharaan yang bertanggung jawab.
Baca juga: BRIN Bukukan Kritik Atas Praktik Perampasan Ruang Laut dan Pesisir
“Memang tidak bisa dimungkiri, unsur kepercayaan sudah lama melekat pada ayam cemani. Tapi dari sudut pandang kedokteran hewan, kami harus pastikan cara pemeliharaannya tetap sesuai standar kesejahteraan hewan,” kata dia.
Ketika ayam cemani digunakan dalam praktik mistis, sering kali hewan ini mengalami perlakuan yang tidak sesuai etika. Seperti disembelih sembarangan, dikurung dalam kandang sempit yang tidak bersih, bahkan dibuang apabila dianggap tidak sesuai dengan ‘syarat’ ritual. Kondisi ini dapat menyebabkan stres kronis, penurunan imunitas, serta meningkatkan risiko penyebaran penyakit seperti salmonellosis dan flu burung ke manusia.
“Kalau dipelihara dalam lingkungan yang tidak higienis dan tanpa memperhatikan prinsip kesejahteraan hewan, ayam ini bukan hanya menderita. Tapi juga bisa menjadi sumber penularan penyakit zoonosis,” jelas dia.
Baca juga: Irfan Syauqi Beik, Paradigma Green Zakat Menjadi Mitigasi Perubahan Iklim
Lebih lanjut, Savitri menekankan pendekatan budaya perlu diterapkan dalam upaya edukasi kepada masyarakat. Komunikasi ilmiah harus disampaikan dengan cara yang empatik dan tidak konfrontatif.
“Yang terpenting adalah menyampaikan ilmu dengan cara yang menghormati keyakinan masyarakat. Kami datang bukan untuk mengubah kepercayaan mereka, tapi untuk bekerja sama menjaga kesehatan hewan dan manusia. Kalau pendekatan empatik dan terbuka, masyarakat justru lebih mudah menerima dan memahami manfaat ilmu kedokteran hewan,” papar dia.
Menjembatani kepercayaan lokal dengan ilmu kedokteran hewan dapat dilakukan melalui dialog terbuka, kolaborasi dengan tokoh adat, serta penyuluhan berbasis praktik nyata. Misalnya, jika masyarakat percaya ayam cemani memiliki kekuatan khusus, maka pendekatan edukasi bisa diarahkan soal bagaimana merawat ayam tersebut agar tetap sehat dan kuat.
Baca juga: Riset BRIN, Perubahan Iklim Picu Penyebaran Penyakit TB, Stroke hingga Infeksi Menular karena Air
“Jadi ‘kekuatan’ itu pun dianggap tetap terjaga,” tambah dia.
Discussion about this post