Wanaloka.com – Kebutuhan akan pasokan listrik di Indonesia bergantung pada energi batu bara. Namun untuk mendapatkannya, pertambangan batu bara telah menggusur masyarakat di tapak, meninggalkan lubang-lubang tambang yang memakan korban jiwa yang tenggelam di dalamnya, memicu kerusakan lingkungan krisis iklim.
Demikian Kepala Divisi Pendidikan Kaderisasi dan Penelitian dan Pengembangan Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Yogyakarta Abimanyu memaparkan dalam kegiatan pelatihan dasar lingkungan hidup atau Basic Environmental Training (BET) pada 3-6 Januari 2022. Pelatihan yang digelar Walhi Yogyakarta itu mengusung tema “Sekolah Keadilan Energi”. Tema itu bertujuan untuk melihat secara menyeluruh silang persoalan yang hadir mengiringi rantai produksi hingga konsumsi energi di Indonesia.
“Jadi, energi tidak dilihat dari satu kacamata ilmu atau satu kacamata tema semata,” tutur Abimanyu sebagaimana dilansir dari laman walhi-jogja.or.id, Senin, 10 Januari 2022.
Baca Juga: Indonesia-Jepang Kerja Sama Transisi Energi, Investasi akan Dipermudah
Proses pengolahan batubara menjadi listrik juga memunculkan persoalan. Serpihan batu bara yang diangkut kapal-kapal tongkang memicu kerusakan ekosistem laut, juga mengakibatkan aneka penyakit pernafasan, seperti ispa an bronchitis yang diderita masyarakat di sekitar Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU).
Sementara, pasokan energi di Indonesia bukan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat, melainkan untuk kepentingan pasar.
“Yang ada pakai skema bisnis, business as usual. Kita hanya menyerahkan pada skema pasar. Kayak jualan ke pasar, komodifikasi sumber-sumber energi yang ada di Indonesia,” tutur Abimanyu.
Baca Juga: Antisipasi Iklim Ekstrem, BMKG Muktahirkan Data Normal Hujan
Di Yogyakarta misalnya, pasokan energi tidak sepenuhnya untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga warga Yogyakarta, melainkan untuk memasok kebutuhan industri pariwisata.
Ketimpangan penggunaan energi

Berdasarkan dokumen izin lingkungan hidup yang dimiliki Walhi Yogyakarta, penggunaan listrik rata-rata hotel di Yogyakarta mencapai 2.210 kilovolt ampere. Angka itu setara dengan 2.000 rumah dengan kapasitas listrik 900 volt ampere. Sedangkan beberapa hotel besar di Yogyakarta memiliki kapasitas listrik mencapai 8 juta volt ampere yang setara dengan kebutuhan listrik 6.000 rumah tangga dengan kapasitas 900 volt ampere.
“Ini ketimpangan energi, kota rakus energi. Hasil pengukuran ternyata bukan semata untuk rakyat, tapi untuk investasi dan para pebisnis properti. Kita lihat lagi, hotel ini punya siapa? Punya perorangan kan, investor-investor itu,” tutur Kepala Divisi Program WALHI Yogyakarta Viky Arthiando.
Baca Juga: Gempa Darat Dangkal di Halmahera Utara, Dua Orang Terluka, 61 Bangunan Rusak
Menjamurnya industri properti, seperti hotel, apartemen, maupun perumahan elit, serta infrastruktur juga memicu persoalan-persoalan energi yang lain, seperti sumur-sumur air tanah warga di Yogyakarta mengering. Sementara itu, jaringan transportasi publik yang buruk memicu peningkatan kendaraan bermotor pribadi. Kendaraan para wisatawan yang hilir mudik menjadi salah satu penyumbang menurunnya kualitas udara di daerah ini.
Kampanye energi terbarukan

Discussion about this post