Wanaloka.com – Wakil Menteri Lingkungan Hidup/Wakil Kepala Badan Perlindungan Lingkungan Hidup (KLH/BPLH), Diaz Hendropriyono menegaskan pentingnya menjaga ekosistem pesisir melalui penanaman mangrove dan penghentian kebiasaan membuang sampah sembarangan.
“Kenapa kita harus menanam mangrove? Untuk mencegah banjir rob, melindungi tambak dari kerusakan akibat abrasi pesisir, melindungi ikan di tambak, pengamanan rumah dari banjir, dan juga menyerap karbon dioksida serta polutan,” papar Diaz dalam peringatan World Mangrove Day bertajuk “Jaga Mangrove Jaga Kehidupan” di Desa Anggasari, Kecamatan Sukasari, Kabupaten Subang, Jawa Barat, Kamis, 31 Juli 2025.
Mengingat kawasan pesisir Jawa Barat kerap dilanda abrasi dan banjir rob. Diaz menjelaskan, mangrove bukan hanya peneduh alami, tetapi juga penjaga kehidupan pesisir dari berbagai ancaman lingkungan.
Baca juga: Wilayah Tektonik Kamchatka Mirip Pantai Barat Sumatra, Pantai Selatan Jawa dan Utara Halmahera
Penanaman mangrove juga harus disertai dengan perubahan perilaku masyarakat, khususnya dalam pengelolaan sampah. Mengingat salah satu tantangan serius dalam program rehabilitasi mangrove adalah keberadaan sampah yang menghambat pertumbuhan tanaman.
Akar mangrove, terutama akar napas (pneumatophore), tidak dapat berkembang optimal apabila tertutup sampah plastik atau anorganik lainnya.
“Menanam mangrove akan menjadi percuma jika masih membuang sampah sembarangan. Jadi kita harus sepakat untuk menanam mangrove dan berhenti buang sampah sembarangan,” tegas Diaz.
Baca juga: Muka Air Laut di Wilayah Indonesia Naik di Bawah 0,5 Meter Usai Gempa M8,7 Rusia, Berbahayakah?
KLH/BPLH akan menyediakan sejumlah fasilitas pendukung pengelolaan sampah dan pelestarian lingkungan di Subang. Seperti perahu, mesin pencacah sampah, penyerok sampah, dan gerobak sampah roda dua.
“Jadi mohon jaga Subang, Jawa Barat, dan Indonesia dari sampah juga abrasi akibat banjir rob,” lanjut dia.
Wakil Bupati Subang, Agus Masykur Rosyadi mengakui banjir rob telah menjadi persoalan rutin di wilayah pesisir Subang. Aksi penanaman mangrove menjadi langkah strategis yang tidak bisa ditunda. Masyarakat Subang pun telah aktif menanam mangrove, tetapi banyak mangrove yang hilang sehingga banyak kawasan pesisir masih terdampak abrasi.
Baca juga: Enam Provinsi Siaga Tanggap Darurat Karhutla 2025
“Kami sudah menanam 26.000 mangrove dan ada CSR yang akan menanam juga di Legonkulon,” kata Agus.
Agenda ini tidak hanya menyasar abrasi. Namun juga menjadi pemicu perubahan perilaku masyarakat agar lebih peduli pada kebersihan sungai dan kelestarian ekosistem. Efek agenda penanaman mangrove adalah menjadikan sungai di sekitar lokasi menjadi bersih dan lebih tertata.
“Harapannya, kebiasaan masyarakat membuang sampah sembarangan bisa dikurangi dan diubah,” imbuh Agus.
Baca juga: Pola Unik Pergerakan Kura-kura Moncong Babi Kadang ke Hulu Kadang ke Hilir
Terbit aturan mangrove
Pemerintah baru saja menerbitkan dua aturan baru yang dinilai menjadi terobosan strategis untuk memperkuat tata kelola lingkungan berbasis bukti dan keberlanjutan. Meliputi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 26 Tahun 2025 tentang Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (RPPLH) dan PP Nomor 27 Tahun 2025 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Mangrove (PPEM).
“Kalau kita pikir-pikir, banjir di Indonesia, di kota-kota besar sering terjadi, sedikit-sedikit banjir, misalnya di Bogor, Jakarta, Bandung, Semarang. Hujan tidak seberapa sering tetapi banjir banyak terjadi. Padahal curah hujan Jakarta antara 1,500 sampai 2000 mm/tahun termasuk lebih rendah dari Singapura, dan hanya sedikit lebih tinggi dari Tokyo,” jelas Diaz saat melakukan sosialisasi.
Dalam forum tersebut, Diaz mendorong pemerintah daerah segera menetapkan RPPLH sebagai dokumen perencanaan pembangunan yang mempertimbangkan daya dukung dan daya tampung lingkungan. Praktik yang memperburuk kerusakan lingkungan, seperti alih fungsi lahan, konversi hutan, serta kurangnya Ruang Terbuka Hijau (RTH) harus dihindari.
Baca juga: Janji Menteri Kehutanan, Wisata Alam Bukan Wisata Massal Tapi Ekowisata
“Pastinya karena ada kesalahan tata ruang, alih fungsi lahan, konversi hutan, lahan gambut, pembangunan di Daerah Aliran Sungai (DAS), konversi hutan, Ruang Terbuka Hijau (RTH) kurang. Jadi ke depan, pembangunan kita harus lebih memperhatikan faktor lingkungan hidup,” tegas Diaz.
Discussion about this post