Forum sosialisasi ini dihadiri perwakilan dari berbagai kementerian/lembaga strategis, termasuk Kemenko Pangan, Sekretariat Kabinet, BPDLH Kementerian Keuangan, Bappenas, Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Pertanian, ATR/BPN, BRIN, dan Polri. Pembahasan juga mencakup implementasi PP 27 yang menjadi dasar pengelolaan ekosistem mangrove secara nasional.
Deputi Bidang Tata Lingkungan Hidup dan Sumber Daya Alam Berkelanjutan KLH/BPLH, Sigit Reliantoro, menekankan bahwa RPPLH dan PPEM memuat pendekatan perencanaan jangka panjang berbasis data dan sains lingkungan.
Baca juga: KKP Tingkatkan Pengelolaan Kawasan Konservasi Hiu dan Pari
“RPPLH adalah skenario planning, perencanaan 30 tahun ke depan akan seperti apa. Kami harus tahu kondisi eksisting (baseline) kami seperti apa,” kata Sigit.
Tak hanya sebagai instrumen mitigasi dan adaptasi perubahan iklim, pengelolaan mangrove yang diatur dalam PPEM juga mendukung agenda ketahanan pangan dan kesejahteraan masyarakat pesisir. Dukungan ini ditegaskan oleh Deputi Bidang Koordinasi Keterjangkauan dan Keamanan Pangan Kemenko Pangan, Nani Hendiarti.
“Peran kami (Kemenko Pangan) menjadi semakin penting. Mangrove bukan hanya berperan sebagai solusi bencana dan perubahan iklim, tapi juga pendukung sumber pangan dan penghidupan masyarakat pesisir,” jelas Nani.
Baca juga: Puncak Kemarau Agustus-September, Potensi Karhutla Meluas di Sumatera dan Kalimantan
Diaz juga mengingatkan bahwa terbitnya kedua PP ini merupakan amanat lama dari Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 yang baru terealisasi setelah aturan turunannya terbit 16 tahun kemudian. Ia mengajak kementerian/lembaga terkait dan pemerintah daerah untuk segera menyusun regulasi turunan, termasuk Peraturan Daerah RPPLH, guna menjamin keberhasilan implementasinya.
“Adanya dua PP ini, saya harap tata kelola RPPLH dan RPPEM menjadi lebih terstruktur dan rapi,” ucap Diaz.
Gandeng Forum Rektor
KLH/BPLH juga menjalin kolaborasi strategis dengan Forum Rektor Indonesia. Forum yang dihadiri 41 rektor dari tujuh wilayah regional disebut menjadi langkah monumental dalam memperkuat sinergi akademik dan kebijakan demi pengelolaan lingkungan hidup yang ilmiah, adil, dan berkelanjutan.
Baca juga: Kelomang Menjadi Indikator Kesehatan Lingkungan Laut
“Pembangunan hari ini harus berpijak pada keseimbangan ekologis dan martabat manusia. Kami tidak bisa melanjutkan sistem yang menomorduakan keberlanjutan,” tegas Menteri LH/BPLH, Hanif Faisol Nurofiq dalam pertemuan bertajuk “Forum Rektor: Kolaborasi Nasional dalam Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup” di Hotel Shangri-La, Jakarta, Kamis, 31 Juli 2025.
Hanif mengungkapkan 80–90 persen kebijakan di KLH/BPLH disusun berdasarkan kajian ilmiah, sehingga melibatkan dunia akademik krusial dalam membangun fondasi kebijakan berbasis data. KLH/BPLH akan merevitalisasi Pusat Studi Lingkungan Hidup (PSLH) di universitas sebagai mitra aktif dalam penyusunan RPPLH, pelaksanaan KLHS, hingga proses persetujuan lingkungan.
“Menteri tidak bisa bekerja hanya dengan opini. Setiap keputusan harus ditopang sains. Kampus adalah mesin penggerak dan penguat landasan ilmiah negara,” tambah Hanif.
Baca juga: Exploitasia, Banteng Jawa Betina Lahir di Pusat Reintroduksi Banteng Jawa Pangandaran
Salah satu tantangan besar yang disoroti Hanif adalah minimnya kapasitas pengawasan lingkungan. Satu pengawas lingkungan harus menangani lebih dari 160 unit kegiatan. Kolaborasi dengan perguruan tinggi dinilai vital untuk memperkuat audit lingkungan, validasi data, dan pengawasan berbasis kajian independen. Bahkan dalam penegakan hukum, ia menekankan pentingnya kehadiran para ahli dari kampus.
“Penegakan hukum lingkungan hidup bukan pekerjaan sembarangan. Kami butuh ahli hukum lingkungan, ahli biologi, geospasial, kimia, hingga sosial. Semua harus berbasis data dan bisa dipertanggungjawabkan di pengadilan maupun publik,” kata Hanif.
Dalam forum ini, ditandatangani nota kesepahaman yang mencakup pembentukan konsorsium riset tematik lingkungan, pengembangan kurikulum hijau, dan penerapan indikator kampus berkelanjutan. Ini menandai langkah sistemik antara KLH/BPLH dan kalangan akademik untuk menjawab krisis lingkungan secara integratif.
KLH/BPLH juga mempersiapkan program lanjutan rehabilitasi mangrove pasca mandat Badan Restorasi Gambut dan Mangrove berakhir pada 31 Desember 2024. Dari total 3,7 juta hektare mangrove, 1 juta hektare masih perlu ditingkatkan kerapatannya. Program ini akan melibatkan kampus, komunitas lokal, dan mitra internasional untuk menjamin keberlanjutan ekosistem pesisir. [WLC02]
Sumber: KLH
Discussion about this post