Wanaloka.com – Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan sebagian permohonan pengujian Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja Menjadi Undang-Undang (UU Cipta Kerja). Larangan setiap orang yang melakukan kegiatan perkebunan di dalam kawasan hutan tanpa perizinan berusaha dari pemerintah pusat sebagaimana Pasal 17 ayat (2) huruf b dalam Pasal 37 angka 5 Lampiran UU 6 Nomor 2023, dikecualikan bagi masyarakat yang hidup secara turun temurun di dalam hutan dan tidak ditujukan untuk kepentingan komersial.
Norma Pasal 17 ayat (2) huruf b yang merupakan bagian dari norma Pasal 17 dalam Pasal 37 angka 5 Lampiran UU 6 Tahun 2023 yang juga menjadi bagian dari norma primer dari norma Pasal 110B dalam Pasal 37 angka 20 Lampiran UU 6 Tahun 2023 yang menjadi norma sekunder, memiliki keterkaitan dengan Putusan MK Nomor 95/PUU-XII/2014.
“MK telah memberikan perlindungan hukum terhadap masyarakat yang hidup di dalam hutan dan tidak ditujukan untuk kepentingan komersial,” kata Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih saat membacakan pertimbangan hukum Putusan Nomor 181/PUU-XXII/2024 di Ruang Sidang Pleno MK, Jakarta, Kamis, 16 Oktober 2025.
Baca juga: Air Hujan Jakarta Mengandung Mikroplastik, Orang Indonesia Telan 15 Gram Mikroplastik Per Bulan
Dengan demikian, norma Pasal 17 ayat (2) huruf b dalam Pasal 37 angka 5 Lampiran UU 6 Tahun 2023 itu tidak dapat diberlakukan untuk masyarakat yang hidup secara turun temurun di dalam hutan dan tidak ditujukan untuk kepentingan komersial.
Begitu pula, sanksi administratif atas pelanggaran pasal tersebut, baik berupa penghentian sementara kegiatan usaha, pembayaran denda administratif, dan/atau paksaan pemerintah sebagaimana norma Pasal 110B ayat (1) dalam Pasal 37 angka 20 Lampiran UU 6/2023 juga dikecualikan untuk masyarakat yang hidup secara turun temurun di dalam hutan dan tidak ditujukan untuk kepentingan komersial.
Dalam konteks “kepentingan komersial” yang digunakan sebagai pengecualian yang dimaksudkan MK adalah kegiatan perkebunan masyarakat dalam hutan yang hanya untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari dan tidak untuk diperdagangkan dengan mendapatkan imbalan keuntungan.
Baca juga: Gastronomy Tour Suguhkan Rasa, Kisah dan Filosofi di Balik Kuliner Indonesia
Dengan kata lain, masyarakat yang hidup turun temurun dalam hutan yang membutuhkan sandang, pangan, dan papan untuk kebutuhan sehari-hari tidak dapat dikenakan sanksi sebagaimana ketentuan dalam Pasal 110B ayat (1) dalam Pasal 37 angka 20 Lampiran UU 6 Tahun 2023.
Enny melanjutkan, sepanjang kegiatan perkebunan yang dilakukan oleh masyarakat yang hidup secara turun temurun di dalam hutan dan tidak ditujukan untuk kepentingan komersial, tidak perlu memperoleh perizinan berusaha dari pemerintah pusat. Sebab, perizinan berusaha adalah legalitas yang diberikan kepada pelaku usaha untuk memulai dan menjalankan usaha dan/atau kegiatannya.
“Namun, karena pemaknaan yang dilakukan Mahkamah bukan sebagaimana yang dimohonkan Pemohon, dalil Pemohon a quo adalah beralasan menurut hukum untuk sebagian,” kata Enny.
Baca juga: Hari Pangan Sedunia, Pakar IPB Sebut Lahan Sawah Indonesia Hanya 7,3 Juta Hektare
Penataan kawasan hutan secara komprehensif
Selain itu, merujuk pada UU 18 Tahun 2013 selama ini, penyelesaian kegiatan terbangun (terlanjur terbangun) di dalam kawasan hutan tanpa perizinan di bidang kehutanan, langsung dikenakan sanksi pidana. Hal ini tidak dapat dilepaskan dari kondisi faktual adanya pelaku usaha yang membuka dan mengelola lahan seperti kelapa sawit di dalam kawasan hutan tanpa izin atau terdapat kegiatan pembangunan dan pemanfaatan ruang yang terbangun. Misalnya untuk pemukiman serta fasilitas umum lainnya tanpa memiliki izin di mana kondisi terbangun tidak dapat dikategorikan sebagai usaha kehutanan.
Menurut MK, salah satu penyebabnya karena ada ketidakharmonisan atau dispute tata ruang antara pemerintah pusat dan daerah, khususnya dalam penataan kawasan ruang. Melalui UU 18 Tahun 2013 yang diubah dengan UU 6 Tahun 2023, pencegahan dan pemberantasan kerusakan hutan selain memiliki aspek represif, juga mempertimbangkan kerusakan hutan. Selain memiliki aspek represif, juga mempertimbangkan aspek retroaktif untuk meningkatkan peran masyarakat dalam menjaga kelestarian hutan sebagai wujud asas partisipasi yang dianut dalam UU ini.
“Berlakunya Pasal 110B UU a quo dimaksudkan untuk mengakomodir kegiatan di luar bidang kehutanan yang komersial. Demi terwujudnya kepastian hukum guna mencegah kerusakan hutan dan lingkungan, pemerintah harus segera menyelesaikan penataan kawasan hutan secara komprehensif,” tutur Enny.
Baca juga: Si-AZA, Deteksi Alkohol dan Zat Adiktif pada Pangan secara Langsung
Dalam amar putusannya, Ketua MK Suhartoyo menyatakan Mahkamah mengabulkan permohonan Pemohon untuk sebagian. Mahkamah juga mengatakan Pasal 17 ayat (2) huruf b dalam Pasal 37 angka 5 Lampiran UU 6/2023 bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai, “dikecualikan untuk masyarakat yang hidup secara turun temurun di dalam hutan dan tidak ditujukan untuk kepentingan komersial.”
Hal yang sama juga berlaku terhadap Pasal 110B ayat (1) dalam Pasal 37 angka 20 Lampiran UU 6/2023 sepanjang berkaitan dengan ketentuan norma Pasal 17 ayat (2) huruf b dalam Pasal 37 angka 5 Lampiran UU 6 Tahun 2023.







Discussion about this post