Wanaloka.com – Tim Advokasi Penyelamatan Pulau-pulau Kecil (TAPaK) mendesak Pemerintah Indonesia menghentikan aktivitas pertambangan di pulau-pulau kecil di Indonesia. Desak ini diserukan TAPaK menyusul putusan Mahkamah Konstitusi menolak uji materiil Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (PWP3K).
TAPaK menegaskan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) itu harus dijadikan dasar oleh pemerintah menghentikan pertambangan di pulau-pulau kecil di seluruh di Indonesia.
Saat ini tercatat ada 218 izin usaha pertambangan dengan luas konsesi yang mencapai lebih dari 274.00 hektare di 34 pulau-pulau kecil di Indonesia.
Salah satu pulau kecil yang terancam aktivitas pertambangan adalah Pulau Wawonii di Provinsi Sulawesi Tenggara yang menjadi tempat perusahaan tambang nikel PT Gema Kreasi Perdana (GKP) beroperasi.
Baca Juga: Perusahaan Tambang Nikel Gugat UU 27 Tahun 2007, Walhi: Ancaman Kelangsungan Hidup Pulau Kecil
PT GKP merupakan pemohon uji materiil Undang-Undang PWP3K. Dalam agenda putusan gugatan pada Kamis, 21 Masret 2024, Mahkamah Konstitusi menyatakan dalil pemohon (PT GKP) tidak dapat dipertimbangkan lebih lanjut karena tidak ada relevansi dengan ketentuan Pasal 23 Ayat 2 dan Pasal 35 huruf K Undang-Undang PWP3K.
“Putusan MK ini menunjukkan semangat perjuangan lingkungan khususnya di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil agar kelestarian ekologisnya tetap terjaga. Putusan ini sejalan dengan semangat MK yang tercatat dalam Putusan MK Nomor 3 Tahun 2010 yang memberikan 4 hak konstitusional kepada masyarakat pesisir dan pulau kecil. Beberapa di antaranya ialah hak mendapatkan perairan bersih dan sehat, hak untuk mengelola wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, dan hak untuk mendapatkan manfaat dari pengelolaan tersebut. Kita harus tetap mengawal implementasi dari keputusan MK hari ini, sehingga wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil bisa bebas dari tambang mineral yang ada di Indonesia,” kata kuasa hukum dari TAPaK, Fikerman Saragih.
Dalam siaran pers TAPaK, Muhammad Jamil menyatakan, putusan Majelis Hakim MK dalam perkara Uji Materiil Nomor 35/PUU-XXI/2023 ini mendasarkan pada nilai-nilai dan semangat perlindungan dan penyelamatan seluruh kehidupan di wilayah pesisir dan pulau kecil.
Baca Juga: Jokowi Tak Singgung Pemulihan Lingkungan dalam 5 Agenda Nasional, Walhi: Tanah Air Punya Siapa?
“Hal ini menunjukkan bahwa pulau-pulau kecil bukan untuk tambang. Sehingga putusan MK sebagai kemenangan rakyat secara umum, khususnya rakyat pesisir dan pulau kecil ini, mesti menjadi momentum untuk mengevaluasi seluruh tambang di pulau kecil,” katanya.
PT GKP mengajukan gugatan uji materiil dan meminta frasa “apabila” dalam pasal 23 dan 35 UU PWP3K agar ditafsirkan tidak bertentangan dengan pertambangan di pulau kecil. Namun, Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 sebagaimana telah diganti menjadi Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014, telah menegaskan larangan aktivitas pertambangan di pulau yang dikategorikan sebagai pulau kecil, yaitu pulau yang memiliki luas lebih kecil atau sama dengan 2.000 kilometer persegi.
“Pada dasarnya permohonan gugatan yang dilakukan PT GKP atas UU PWP3K dengan menggunakan Pasal 28D dan 28I UUD 1945 sebagai batu uji justru tidak memiliki relevansi serta tidak berlandaskan hukum. Alih-alih menunjukkan PT GKP sebagai pihak yang merasa hak asasinya diambil, hal ini justru menunjukkan mereka sebagai pihak yang melakukan diskriminasi terhadap warga Pulau Wawonii dengan merenggut hak atas air dan hak atas hidupnya,” ujar kuasa hukum TAPaK, Arko Tarigan.
Baca Juga: Koalisi Sipil Desak Bebaskan Aktivis Lingkungan #SaveKarimunjawa
Jika gugatan dari PT GKP dikabulkan oleh MK, maka bencana ekologis maupun konflik sosial akan semakin masif dan mengancam seluruh ekosistem wilayah pesisir serta pulau-pulau kecil di Indonesia.
Dengan kata lain, sebut Arko Tarigan, akan terjadi ledakan kebangkrutan sosial-ekologis di Indonesia.
“Sudah seharusnya MK menolak permohonan judicial review (JR) PT GKP, karena UU Pesisir serta UU terkait lainnya secara filosofis tegas melarang kegiatan pertambangan di wilayah pulau-pulau kecil. Pasalnya, semua kegiatan pertambangan terbukti merusak lingkungan, sosial, dan budaya setempat. Putusan MK dalam perkara a quo adalah kemenangan bagi nelayan dan masyarakat secara umum,” imbuh Eddy Kurniawan, kuasa hukum TAPaK.
Discussion about this post