Salah satu pendamping warga, Sana Ulaili dari Solidaritas Perempuan (SP) Kinasih memaparkan, ada 117 perempuan dan 40 anak usia 8-13 tahun yang pada hari H peristiwa tersebut berada di masjid yang mengalami trauma. Mereka mengalami kekerasan psikologis karena melihat aksi penangkapan dan kekerasan yang dilakukan aparat kepolisian terhadap 67 warga.
Baca Juga: Aksi Virtual Twibbon: 26 Tahun Kasus Pembunuhan Wartawan Udin Tak Tuntas
Tingkat traumatiknya beragam. Ada sejumlah perempuan yang masih mengalami ketakutan saat melihat orang yang tak dikenal, melihat aparat datang ke Wadas. Apalagi hingga saat ini masih ada aparat polisi, baik yang berseragam lengkap maupun berbaju sipil, keluar masuk Desa Wadas.
“Itu mengembalikan ingatan para perempuan pada kekerasan Februari 2022 dan April 2021 lalu,” kata Sana.
Ada juga yang mengalami gangguan emosional, seperti tiba-tiba terbangun dari tidur dan ketakutan, tiba-tiba mengangis, tiba-tiba merasa sesak karena mengingat kekerasan yang dialami warga.
“Jadi kami betul-betul berharap Komnas Perempuan melakukan investigasi mendalam di Wadas. Lembaga-lembaga negara harus bertanggung jawab pada kondisi traumatik warga,” kata Sana.
Tak hanya itu, warga juga berharap pemerintah, aparat polisi, dan para eksekutor tambang tak lagi datang ke Wadas. Lantaran kedatangan mereka akan memunculkan traumatik baru. Apalagi isu yang berhembus saat ini, lanjut Sana adalah seolah-olah warga menolak tambang karena terkait ganti rugi yang tak sesuai. Padahal warga yang menolak hingga kini pun tak pernah terpikir soal ganti rugi.
Baca Juga: Gangguan Ginjal, Ancaman Sebelum dan Selama Pandemi Covid-19
“Karena bagi warga yang penting adalah tak kehilangan lahan, tak kehilangan 27 sumber air yang jadi kebutuhan dasar reproduksi perempuan, tak kehilangan ruang politik dan ruang untuk melakukan kerja-kerja ekonomi dengan alam. Seperti membuat besek, menyadap aren,” papar Sana.
Meskipun kondisi psikologis belum pulih, warga masih tetap konsisten untuk tetap mempertahankan lahannya dari pengukuran untuk penambangan batu andesit.
“Itu prinsip kuat yang diugemi (diyakini) warga Wadas. Bahkan ketika Pak Ganjar Pranowo ke Wadas, sikap konsisten itu diperlihatkan kembali kesekian kalinya oleh para perwakilan yang bicara dalam forum itu,” papar Fuad.
Kuasa hukum warga Wadas, Julian Duwi Prasetia dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Yogyakarta pun mengabarkan, semua upaya pelaporan warga ke 11 institusi selama 24-26 Februari 2022 belum ada yang ditindaklanjuti. Meskipun dalam pelaporannya, juga telah menyertakan bukti catatan rumah sakit atas kondisi 67 warga yang ditangkap. Anak-anak di bawah umur mengalami kekerasan dan perempuan mengalami trauma sehingga membutuhkan penganganan psikiater.
“Obatnya cuma saja. Gubernur Jawa Tengah mencabut IPL. Sesederhana itu. Tapi pemerintah menolak. Itu adalah lampu hijau bagi kami untuk terus mengadvoakasi dan membersamai warga Wadas,” tegas Julian. [WLC02]
Discussion about this post