Wanaloka.com – Warga Wadas, Kecamatan Bener, Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah berbagai usia tumpah ruah memenuhi halaman Masjid Nurul Huda, Rabu, 16 Maret 2022. Pengajian yang disampaikan Pengasuh Pondok Pesantren Ekologis Miskat Bogor, Kyai Roy Murtadho atau Gus Roy dan Pengasuh Ambaul Maarif Jombang, Kyai Abdussalam Shobib atau Gus Salam kembali membangkitkan semangat warga Wadas untuk tetap komitmen mempertahankan lahannya. Mengingat hingga saat ini, warga Wadas didera kecemasan akibat upaya pengukuran lahan secara sepihak oleh pemerintah untuk penambangan batu andesit yang akan digunakan dalam pembangunan Bendungan Bener.
“Perampasan tanah hukumnya haram,” ucap Gus Roy sebagaimana dikutip dari akun Twitter @ Wadas_Melawan, Rabu, 16 Maret 2022.
Bahkan pengharaman praktik perampasan lahan secara sewenang-wenang itu juga menjadi salah satu hasil Muktamar Nahdlatul Ulama ke-34 pada Desember 2021. Dalam kesempatan itu, Pengasuh Ambaul Maarif Jombang, Gus Abdussalam Shobib juga menyampaikan pesan untuk memperpanjang semangat warga.
“Hak-hak rakyat harus diperjuangkan,” kata Gus Salam.
Baca Juga: Hari Bhakti Rimbawan, Mimpi Menteri Siti akan Kembalinya Hutan Tropika Basah Indonesia
Pengajian itu adalah puncak dari rangkaian acara tradisi nyadran yang digelar pada hari yang sama. Petuah-petuah yang disampaikan kedua kyai itu pun senyampang dengan tema tradisi Nyadran Wadas kali ini, yakni Sadumuk Bathuk, Sanyari Bumi, Ditohi Tekan Pati. Artinya, walaupun sempit luas tanah yang dimiliki, sesempit ruas jari pada jidat, tanah ibarat nyawa seseorang. Begitu sakralnya tanah bagi seseorang, sehingga rela mengorbankan nyawa untuk tetap memilikinya.
“Begitu berartinya tanah bagi warga Wadas sehingga kami akan terus mempertahankan tanah sampai kapan pun. Kami akan tetap konsisten untuk merawat alam Desa Wadas demi masa depan anak cucu,” demikian bunyi utasan akun Twitter @Wadas_Melawan.
Tradisi Nyadran digelar menjelang memasuki bulan Ramadan. Tak hanya di Wadas, sejumlah daerah pun melakukan tradisi turun-temurun ini. Tradisi tersebut telah dijaga selama ratusan tahun dimulai dengan membersihkan makam para orang tua atau leluhur secara bergotong-royong. Kemudian membuat dan membagikan makanan tradisional, serta berdoa bersama di sekitar area makam.
Baca Juga: Eksaminasi Putusan IPL Wadas: Majelis Hakim Tak Anggap Amicus Curiae Jadi Pertimbangan Putusan
“Kami ziarah bersama di seluruh makam di Wadas,” kata perwakilan Gempadewa dalam konferensi pers yang digelar Kontras secara virtual pada 15 Maret 2022.
Ritual bersih makam dimulai dari Makam Dukuh Wetan, Pidikan, kemudian dilanjutkan ke Makam Krajan. Warga bermunajat, tahlil, dan berdoa bersama untuk mendoakan para leluhur dan para pendiri Wadas. Tak lupa mendoakan keselamatan bumi Wadas dari segala bentuk perusakan dan perampasan lingkungan.
Kemudian digelar makan bersama (kembulan) di area masjid. Ada yang khas dari kembulan ini. Warga bersama-sama – secara terpisah laki-laki dan perempuan – makan nasi beserta sayur dan lauk pauknya di atas lembaran daun pisang yang dibentangkan memanjang. Warga makan dengan tangan (muluk). Kebersamaan terjalin di sana. Selanjutnya dilakukan salat Dhuhur berjamaah di Masjid Nurul Huda.
Wadas Belum Kondusif
Selepas tradisi nyadran, warga Wadas kembali kesulitan mengakses internet sejak pukul 21.00. Baru tengah malam, akun Twitter @Wadas_Melawan mengunggah gambar screenshoot kecepatan internet yang hanya “0.0 Kbps” yang diduga adalah bentuk intimidasi. Secara umum, kondisi yang belum kondusif di Wadas masih terasa usai peristiwa kekerasan pada 8 Februari 2022 oleh aparat kepolisian yang menangkap 67 warga Wadas, hingga hari ini. Bahkan sejumlah perempuan dan anak-anak masih mengalami trauma.
Discussion about this post