Wanaloka.com – Bunyi pesan pendek melalui WhatsApp Group yang masuk pukul 17.13 WIB, Rabu, 9 Maret 2022, cukup mengejutkan.
“Dapat kabar kalau mas Widodo PPLP meninggal dunia. Semoga mendapat tempat di surga,” demikian isi pesan tersebut.
Kabar itu selisih 13 menit dari kepergiannya. Sementara sehari sebelumnya beredar informasi almarhum dirawat di ICU Rumah Sakit PKU Yogyakarta sejak 27 Februari 2022 lalu karena gagal ginjal. Kawan-kawannya dari jaringan sesama aktivis agraria dan lingkungan berupaya menggalang bantuan. Mengingat almarhum membutuhkan biaya untuk cuci darah rutin. Namun sehari kemudian, kabar duka menyapa mereka.
Almarhum dimakamkan di Pemakaman Sorosutan, Pedukuhan I Garongan, Kecamatan Panjatan, Kabupaten Kulon Progo, Kamis, 10 Maret 2022.
Baca Juga: Gunung Merapi Sejak Rabu Malam hingga Kamis Dinihari Alami Awan Panas Guguran
Siapakah Widodo?
Nama lengkapnya Trisno Widodo, 44 tahun. Namun akrab dipanggil Widodo atau Wid saja. Laki-laki yang selalu menggondrongkan rambutnya itu adalah petani hortikultura di pesisir lahan pantai Kulon Progo, tepatnya di Desa Garongan.
Ia sempat merantau hingga ke negeri jiran dan Pulau Sumatera. Bekerja serabutan di sana karena tak ada yang diharapkan dari desanya yang berpasir hitam itu.
Akhirnya pulang kampung pada masa reformasi 1998 usai mendengar kabar kesuksesan warga desanya mengolah lahan pantai menjadi lahan pertanian. Seperti warga lainnya, dia pun menanam cabai. Kesuksesan yang diraup pada tahun 2000, memantapkan hatinya untuk membangun desa. Empat tahun kemudian mempersunting Tri Muryani menjadi istrinya.
Namun ketenangan warga pesisir itu terusik dengan desas-desus rencana proyek penambangan pasir besi di lahan pesisir selatan Kulon Progo pada 2006. Proyek itu berpotensi ‘membunuh’ kehidupan warga pesisir selatan dan mengancam ekologi wilayah pantai.
Widodo dan para pemuda di desanya merapatkan barisan untuk menghalau proyek itu. Mereka menggelar aksi protes turun ke jalan, datang ke forum-forum resmi, juga menggalang dukungan dengan menggandeng dan memperluas jaringan. Hingga terbentuklah Paguyuban Petani Lahan Pantai Kulon Progo (PPLP-KP), pada 1 April 2006. Widodo didapuk menjadi koordinator, juru bicara, juga orator.
Baca Juga: Targetkan Emisi Nol Karbon, PLTA Poso Diduga Pertaruhkan Keselamatan Warga dan Lingkungan
Kemudian pada 2011, bersama jaringan petani dari wilayah selatan Jawa mendirikan Forum Komunikasi Masyarakat Agraris (FKMA). Forum untuk menghadang rencana pertambangan pasir besi di seluruh Jawa bagian selatan.
Menanam adalah Melawan
Semangat perlawanannya masih terjaga hingga di pengujung usianya. Bahkan Widodo mencetak ulang bukunya; Menanam Adalah Melawan yang pada Maret 2021.
Buku dengan cover pohon cabai yang akarnya mencengkram beko dan sebelah tangan yang mengangkat pohon cabai itu berkisah tentang perjalanan perjuangan PPLP-KP menolak penambangan pasir besi. Juga mengisahkan masa kelam warga pesisir selatan Kulon Progo distigma wong cubung (orng yang miskin) yang pada akhirnya berhasil mengolah lahan berpasir hitam menjadi sabana hortikultura.
Soal judul buku ini, menurut sohibnya, Direktur Indonesian Court Monitoring (ICM), Tri Wahyu yang juga berjejaring melakukan advokasi PPLP-KP, adalah semboyan Widodo.
“Saya ingat kata-kata Mas Wid. Ora papa (tidak apa-apa) andaikata ‘kalah di kertas’ (gugatan karena kondisi hukum yang tidak adil bagi petani). Yang penting PPLP tetap ‘menang di lapangan’ dengan semboyan menanam adalah melawan,” kata Tri Wahyu saat dihubungi Wanaloka.com, Kamis, 10 Maret 2022.
Baca Juga: Banjir Bandang di Lawang 1 Orang Tewas, di Banggai 8 Rumah Rusak
Di mata Tri Wahyu, Widodo adalah pejuang tangguh di PPLP-KP yang intens membangun komunikasi dengan para korban pembangunanisme dan perampasan ruang hidup di berbagai wilayah di Indonesia. Juga menjadi komunikator yang baik dengan jaringan untuk bersolidaritas perjuangan PPLP-KP. Sosoknya yang supel membuatnya gampang bergaul dengan siapapun yang baru dikenalnya.
“Kalau pas bersilaturahmi ke rumahnya, kawan-kawan solidaritas ini harus wajib makan dulu (menu) yang disajikan dari hasil pertanian di sana. Kalau enggak makan, enggak boleh pulang,” kenang Tri Wahyu.
Discussion about this post