Wanaloka.com – Organisasi Pangan Dunia atau FAO memprediksi bencana kelaparan akan terjadi pada 2050. Pemicunya adalah, pertama, pertambahan jumlah penduduk dunia yang akan mencapai angka 10 miliar. Kedua, produksi pangan tidak naik 70 persen dari sekarang. Ketiga, pengaruh dampak perubahan iklim terhadap produksi pangan.
“Itu ancaman nyata bagi dunia, termasuk Indonesia,” kata Dekan Fakultas Pertanian UGM, Jaka Widada dilansir dari acara Pojok Bulaksumur di Gedung Pusat UGM, 29 November 2022.
Ada tiga negara yang telah siap menghadapi ancaman krisis pangan, yaitu Cina, Israel, dan Belanda. Negara-negara tersebut telah melakukan sejumlah upaya melalui rekayasa teknologi. Cina sudah bisa membuat benih padi yang produksinya dua kali lipat lebih banyak. Belanda dan Israel telah mengimplementasikan teknologi mumpuni untuk meningkatkan produksi komoditas pertanian. Bahkan Ethiopia yang dahulu merupakan negara dengan banyak kasus kelaparan, sekarang menjadi sumber pangan nomor tujuh dunia karena teknologi dari Israel.
Baca Juga: Basarnas Perpanjang Masa Pencarian 12 Korban Gempa Cianjur yang Hilang
Sementara Indonesia belum terlalu merasakan ancaman perubahan iklim dan krisis pangan. Sebab ketersediaan sumber daya alam masih cukup melimpah. Kondisi geografis Indonesia yang memungkinkan produksi pertanian tetap berjalan sepanjang tahun. Persoalannya, terjadi pemborosan atau penggunaan sumber daya secara kurang efisien di berbagai aspek, termasuk di sektor pertanian.
“Di Indonesia pemborosannya luar biasa. Merasa air tidak harus dibeli, tapi ke depan ancamannya akan luar biasa,” kata Jaka.
UGM dinilai perlu melakukan edukasi untuk pelan-pelan menyadarkan tentang perubahan iklim.
Kesehatan
Baca Juga: Korban Gempa Cianjur Bertambah Lagi Jadi 327 Orang Meninggal Dunia
Ancaman Krisis Kesehatan
Tak hanya krisis pangan, krisis kesehatan akibat perubahan iklim juga terjadi secara global, baik dalam bentuk pandemi yang sulit dicegah maupun bentuk lain. Ada tiga kelompok kategori penyakit akibat pemanasan global, yakni kategori penyakit menular, penyakit pernapasan, dan penyakit mental yang dipicu akibat terjadinya bencana alam maupun non-alam.
Upaya pencegahan yang perlu dilakukan adalah membuka ruang diseminasi pengetahuan bagi masyarakat agar mampu memahami permasalahan dan tantangan kesehatan masa depan.
“Sebagai upaya turut mengantisipasi risiko yang kemungkinan berdampak pada kondisi masyarakat saat ini dan mendatang,” ujar Dekan Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat, dan Keperawatan (FK-KMK) UGM, dokter Yodi Mahendradhata dilansir dari Talk Show Kesehatan bertajuk ”Problem Dunia Kesehatan dan Tantangan Masyarakat Masa Depan”, 30 November 2022.
Baca Juga: Kepodang Kudung Hitam hingga Burung Hantu Kini Jarang Dijumpa di Kampus UNY
Mengenai kaitan perubahan iklim terhadap bencana pangan dan Kesehatan, Pakar Kesehatan Lingkungan dan Kedokteran Keluarga, Hari Kusnanto menyampaikan, bahwa emisi gas rumah kaca memicu munculnya pemanasan global dan mengakibatkan perubahan iklim secara global. Sejumlah bencana alam pun terjadi. Belum lama ini terjadi banjir di Jeddah, Arab Saudi karena curah hujan tinggi.
Tak terkecuali gempa bumi di Cianjur. Meskipun gempa bumi tidak terkait secara langsung perubahan iklim, tapi dampak curah hujan tinggi mengakibatkan longsor dan banjir di banyak tempat di Cianjur.
“Saya juga sempat melihat tanaman padi di area persawahan antara Wonosari dan Klaten terendam. Ini tentu berkaitan dengan ketahanan pangan dan akan berdampak pada kesehatan keluarga-keluarga,” papar Hari.
Baca Juga: Tim Sistem Peringatan Dini UGM Bisa Prediksi 1 hingga 4 Hari Sebelum Gempa
Apabila pangan terganggu dan banyak bencana dialami, besar kemungkinan memunculkan bermacam penyakit. Beberapa perubahan pola penyakit akibat perubahan iklim, antara lain Malaria yang sulit dikontrol.
“Ini akan berdampak terhadap kesehatan keluarga dan masyarakat. Akibat perubahan iklim akan terjadi banyak bencana penyakit menular akibat terganggunya pangan,” jelas Hari.
Untuk mencegah perubahan iklim diperlukan langkah-langkah mitigasi dan adaptasi. Keduanya bisa dilakukan sekaligus. Mitigasi dilakukan dengan cara mengurangi emisi dan adaptasi menyesuaikan dampak terhadap kesehatan.
Discussion about this post