Baca Juga: Wacana Rice Cooker Gratis, Pakar UGM: Belum Ada Hitungan Pemanfaatan Energi Bersih
Contoh kasus, masyarakat Indonesia ke depan akan mengalami kesulitan air bersih. Persoalan ini akan menjadi problem sehingga perlu upaya pencegahan dengan mitigasi dan adaptasi. Bentuk upaya yang dilakukan adalah Sekolah Vokasi UGM melakukan inovasi menampung air hujan untuk air minum. Kelebihan air hujan bisa dimasukkan ke air tanah untuk mencegah kelangkaan air masa mendatang.
Adaptasi dan Mitigasi
Dinas Kesehatan DIY, Endang Pamungkasiwi mengungkapkan cuaca ekstrem saat ini menjadikan vektor penyakit tumbuh dengan pesat sehingga muncul infeksi baru, seperti meningkatnya kasus DBD. Kondisi alam saat ini menjadi tempat nyamuk berkembang biak.
“DBD, Malaria, angka-angkanya cenderung naik akibat curah hujan tinggi. Belum lagi kebencanaan akibat iklim membuat terganggunya suplai makanan sehingga kasus gizi di DIY 17,3 persen pada anak-anak stunting,” urai Endang.
Baca Juga: Agar Pengungsi Gempa Cianjur Tetap Sehat, Ribuan Nakes Disebar
Gelombang panas dan gelombang tinggi akibat cuaca ekstrem berdampak terhadap penyakit menular dan tidak menular cukup tinggi. Penyakit tersebut seperti kelelahan, kondisi stres, dan penyakit-penyakit tidak menular lainnya seperti hipertensi, kanker, DM yang angkanya menduduki peringkat 1-5.
“Apabila dibandingkan dengan propinsi lain, cukup memprihatinkan. Artinya, Indonesia, khususnya DIY, sudah saatnya melakukan mitigasi dan adaptasi untuk perubahan iklim ini,” terang Endang.
Sementara Pakar Gizi Kesehatan, Lily Arsanti Lestari mengungkap sebuah riset menunjukkan setiap kenaikan 2 derajat Celcius suhu bumi mengakibatkan penurunan produksi pangan sebesar 30 persen pada 2050 dunia.
Baca Juga: Data Terbaru Jumlah Korban Meninggal Gempa Cianjur 323 Orang
“Bisa dibayangkan, jumlah penduduk semakin bertambah dan kebutuhan pangan semakin banyak, lalu terjadi penurunan produksi. Otomatis akan terjadi kekurangan pangan,” kata Lily.
Lily menyebut akibat perubahan iklim menyebabkan cuaca yang tidak menentu dan sulit diprediksi. Saat ini, sulit sekali memprediksi kapan musim hujan kapan dan kapan musim kemarau.
“Tentunya menyebabkan kekacauan pola tanam yang semula bisa diprediksi. Estimasi untuk peyediaan pangan tidak bisa diperkirakan,” ungkap Lily.
Baca Juga: Data Terkini Korban Gempa Cianjur 321 Orang Meninggal Dunia
Jika gagal panen, maka otomatis penyediaan pangan akan terhambat. Ketersediaan pangan pun berkurang sehingga mengakibatkan asupan konsumsi di level rumah tangga atau keluarga juga akan berkurang.
“Sekarang ini mungkin karena krisis juga ya, orang mengkonsumsi makanan tidak memperhatikan aspek gizinya. Yang penting kenyang. Beberapa kebutuhan protein akan berkurang. Begitu pula zat-zat gizi lain juga tidak optimal,” Imbuh Lily.
Baca Juga: Pulau Maitara, Pulau Kaya Rempah di Lembar Uang Pecahan Seribu
Pakar Keperawatan Dasar dan Emergensi/Ketua Pokja Bencana FK-KMK UGM, Sutono menyitir data dari BNPB tahun 2022 menyebutkan ada 2.654 bencana di Indonesia yang didominasi faktor hidrometeorologi atau masalah iklim. Ini merupakan fenomena yang harus disikapi dengan serius karena dampaknya sangat luar biasa.
Ia mengajak orang harus mulai berpikir dan berani melakukan aktivitas untuk perbaikan agar dunia tidak rusak lagi.
“Yang terpenting mengubah perilaku. Baik diri sendiri maupun keluarga. Ini akan menimbulkan kepedulian terhadap lingkungan yang rusak dan kerusakan bisa diminimalisir,” kata Sutono. [WLC02]
Discussion about this post