Wanaloka.com – Rencana pengembangan food estate di Kabupaten Merauke, Papua Selatan memunculkan kontroversi. Sebab proyek-proyek food estate terdahulu diketahui tidak membuahkan hasil. Sebut saja seperti Pengembangan Lahan Gambut (PLG) (1995), Delta Kayan Food Estate (DekaFE) Bulungan, Kalimantan Timur (2011), Food Estate Gunung Mas, Kalimantan Tengah (2023), termasuk Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE) di Merauke (2010).
Penyebab kegagalan food estate, Peneliti Senior Pusat Riset Kependudukan (PRK), Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Subarudi mensinyalir karena proyek itu menihilkan aspek sosial dan budaya masyarakat. Ada ketidaksesuaian lahan dan dampak lingkungan, sehingga memberikan efek buruk bagi ekosistem.
“Pengembangan lahan besar-besaran berisiko terhadap kerusakan ekosistem, apabila tidak dikelola dengan benar,” kata Subarudi dalam diskusi webinar bertema “Mengais Asa Kedaulatan Pangan melalui Food Estate”, Kamis, 24 Oktober 2024.
Baca Juga: Food Estate Terbukti Gagal dan Rugikan Petani, Koalisi Sipil Tuntut Hentikan
Ia mencontohkan proyek food estate di Merauke yang gagal. Sebab di tempat tersebut sebagian berlahan sawah, namun kebanyakan padang savana yang kurang cocok.
Salah satu solusinya adalah melibatkan petani lokal secara aktif dalam pemilihan tanaman sehingga dapat sesuai lingkungan di mana mereka hidup dari alam serta tidak dibatasi. Tanpa pemberdayaan dan dukungan yang memadai, petani bisa terpinggirkan dalam proyek.
“Itu kunci keberhasilan. Jangan sampai ada paradoks food estate berhasil, sementara di tengah masyarakat terjadi stunting,” imbuh Subarudi.
Baca Juga: Kementerian ESDM akan Genjot Lifting Minyak untuk Swasembada Energi
Pengembangan food estate perlu pendekatan multidisiplin, harus ada kesadaran ekologi serta solusi perlindungan lahan produktif pangan. Perlu ada regulasi, baik di Jawa maupun luar Jawa.
“Harus ada pendekatan antropologi. Jangan sampai implementasi program ini mengorbankan hal yang lebih besar. Dampak ekologi, kemudian sistem sosial, budaya, sosial ekonomi, serta sosial budaya masyarakat,” papar Subarudi.
Kebijakan food estate perlu ditinjau ulang
Peneliti PRK BRIN lainnya, Ary Widiyanto menyampaikan kajiannya terkait kebijakan food estate. Bahwa dampak perubahan iklim, fenomena El Nino, juga pandemi dianggap sebagai pemicu kelahiran proyek food estate. Proyek itu dicanangkan menjadi solusi untuk mengatasi kebutuhan pangan.
Mengingat salam kebijakan, salah satu narasi yang selalu dikemukakan pemerintah adalah kebutuhan makanan yang tidak tercukupi.
“Sehingga kita harus support dan sebagainya,” kata dia.
Food estate merupakan usaha pangan skala luas di mana serangkaian kegiatan dilakukan untuk memanfaatkan sumber daya alam. Upaya tersebut dengan memanfaatkan modal, teknologi, dan sumber daya lainnya. Tujuannya untuk menghasilkan produk pangan guna memenuhi kebutuhan manusia secara terintegrasi. Proyek ini mencakup tanaman pangan, holtikultura, perkebunan, juga peternakan perikanan di suatu kawasan hutan.
Kemudian pemerintah mensahkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 109 Tahun 2020 tentang Percepatan Proyek Strategis Nasional. Di tingkat teknis diatur Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 7 Tahun 2021 tentang Perencanaan Kehutanan, Perubahan Peruntukan dan Fungsi Kawasan Hutan, serta Penggunaan Kawasan Hutan.
Sementara dalam pidato pertamanya 20 Oktober 2024 lalu, Presiden Prabowo Subianto berkomitmen, sebagai negara agraris dengan potensi sumber daya alam melimpah, Indonesia dapat menuju swasembada pangan guna memenuhi kedaulatan bangsa
Menurut, Ari kebijakan pangan nasional melalui food estate perlu ditinjau kembali mengingat proses yang in-prosedural dan dampak yang ditimbulkan kebijakan tersebut terkesan dipaksakan. Ia lantas menguraikan tentang degradasi lingkungan dan kerusakan ekologi termasuk ancaman terhadap biodiversity yang tidak dapat terelakan.
Discussion about this post