Begitu pula dengan kebijakan bantuan desa ataupun pemberdayaan desa, masyarakat justru semakin tereksploitasi. Banyak program pengembangan desa pariwisata yang menghasilkan desa-desa dengan ciri khas tertentu sebagai objek pariwisata. Hal tersebut justru menyebabkan pertumbuhan desa tidak tumbuh secara organik. Desa tidak difungsikan sebagaimana mestinya, melainkan dipaksa untuk mengikuti perkembangan zaman dengan menghilangkan berbagai karakteristik pedesaan.
“Kami sebagai kaum muda juga tertekan. Banyak lahan dikuasai industri, tanah-tanah kami direlokasi. Banyak yang mendesak kaum muda untuk bisa membeli tanah. Bagaimana kita bisa mendapat tanah kalau semuanya didominasi industri?” tanya Dinda.
Belum lagi banyak kasus pengalihan lahan yang hanya mengutamakan aspek ekonomi saja, tapi menghilangkan aspek budaya, spiritual, karakter asli dari adanya lahan tersebut.
Baca Juga: Siap Siaga, September Rawan Karhutla
Dinda menambahkan buku tersebut juga menjelaskan tentang cara pandang positivistik. Bahwa sekarang sudah ada banyak program pembangunan desa. Tapi desa hanya dipandang sebatas bagian dari kolektifnya saja. Jadi, masalah setiap desa dianggap sama, obatnya sama.
“Kami melihat banyak perubahan yang dianggap sebagai pengembangan desa, seperti digitalisasi desa, desa pintar, dan lain-lain. Padahal, masalah mereka sebenarnya bukan itu, tapi hal itu bahkan dipandang cukup,” papar Dinda.
Hariadi juga menyoroti bagaimana kebijakan tersebut dapat bermuara pada kemakmuran rakyat. Kenyataannya, eksploitasi sumber daya alam dan lahan di pedesaan belum mampu memakmurkan masyarakat. Padahal lahan tersebut sudah dimiliki dan dirawat secara turun temurun, bahkan untuk kehidupan sehari-hari. Setidaknya, masyarakat harus memiliki hak untuk merumuskan kebijakan, melakukan pengaturan, pengurusan, pengelolaan, dan pengawasan untuk mencapai keadilan dan kemakmuran atas lahan. [WLC02]
Sumber: UGM
Discussion about this post