Wanaloka.com – Sumber daya alam Indonesia yang melimpah, baik hayati maupun non hayati ternyata menimbulkan polemik terkait distribusi dan pemanfaatannya. Pemerintah berperan untuk menentukan pengelolaan sumber daya alam dan prioritas pembangunan yang ingin diraih. Ironinya, hasil ekstraksi dan pemanfaatan SDA dinilai belum bisa mensejahterakan rakyat sepenuhnya.
“Kita terbiasa dengan jumlah (melimpah) itu dan tanpa sadar bisa habis. Kita juga banyak menggunakan sumber daya alam non hayati. Penggunaannya banyak menimbulkan kerusakan pada sumber daya lainnya,” ucap Ketua Dewan Pembina Yayasan KEHATI Ismid Hadad saat memberikan pengantar diskusi buku “Analisis Kebijakan Tata Kelola Sumber Daya Alam” karya Guru Besar Fakultas Kehutanan dan Lingkungan, Institut Pertanian Bogor, Prof. Hariadi Kartodiharjo yang digelar Social Research Center Fisipol UGM dan Pusat Studi Pedesaan dan Kawasan (PSPK) UGM pada 14 September 2023. Diskusi tersebut membongkar berbagai sudut pandang dalam penerapan kebijakan sumber daya alam di Indonesia.
Menurut Ismid, tujuan pembangunan yang dicanangkan pemerintah masih mengutamakan pertumbuhan ekonomi saja. Berbagai kebijakan terkesan terburu-buru dan belum matang, hingga menyebabkan tidak adanya aspek keberlanjutan.
Baca Juga: Krisis Iklim, Jokowi Minta Pengusaha Tanam Pohon di Area Bekas Tambang
“Pemerintah kita lebih suka melakukan kebijakan ekonomi ekstraktif, ya. Jadi, mengutamakan sumber daya tambang dan migas, dibanding merawat sumber daya alam hayati untuk masa depan. Karena dinilai lebih menguntungkan, tapi juga lebih cepat membuat bumi rusak,” imbuh Ismid.
Padahal yang paling penting adalah sumber daya alam hayati dan keanekaragaman hayati terus berlangsung,. Buku yang turut disponsori oleh Yayasan KEHATI tersebut mengupas tuntas berbagai sudut pandang implementasi pengelolaan sumber daya alam Indonesia. Terlebih pemanfaatan SDA ekstraktif yang mengundang banyak modal asing untuk masuk, juga menambah potensi kerusakan alam yang tidak bertanggung jawab.
Peneliti Institute for Research of Empowerment, Dinda Ahlul Latifah menambahkan saat ia melakukan survei ke desa-desa sebagai peneliti telah menyadari banyak ketimpangan, khususnya akibat alih fungsi lahan. Ketika pemerintah atau swasta membeli tanah dari masyarakat dan menyebabkan tempat tinggal mereka harus direlokasi, yang didapat masyarakat tidak setimpal. Ia mencontohkan, sebelumnya di desa mereka memiliki rumah dengan pelataran dan kebun yang luas. Ketika direlokasi, yang mereka dapatkan hanya rumah berukuran kecil dan tidak memiliki lahan.
Baca Juga: Solidaritas Nasional untuk Rempang: Peristiwa Rempang 7 September Pelanggaran HAM
“Lalu, bagaimana persoalan desa ini bisa teratasi,” tanya Dinda.
Discussion about this post