“Keberlanjutan bukan hanya soal alam, tetapi tentang masa depan manusia,” ujar dia.
Sebagai perempuan dan seorang ibu, Puan menekankan kedekatan perempuan dengan kehidupan memberi perspektif yang khas. Dari rahim perempuan kehidupan bermula. Dari tangan perempuan, anak-anak tumbuh dan belajar mengenali dunia. Pengalaman itu membentuk kepekaan terhadap dampak jangka panjang dari setiap keputusan.
Ketika perempuan berbicara tentang lingkungan, yang terbayang bukan sekadar angka emisi atau luasan hutan, melainkan udara yang dihirup anak-anak, air yang diminum keluarga, dan tanah yang kelak diwariskan kepada cucu-cicit.
“Kepedulian saja tidak cukup. Suara perempuan harus hadir di ruang-ruang tempat keputusan dibuat,” kata Puan.
Baca juga: Walhi dan Anggota DPR Kritik Hasrat Prabowo Perluas Sawit di Papua, Mengulang Bencana Ekologis
Sebab kebijakan tentang tata ruang, energi, hutan, dan air akan menentukan apakah kehidupan tetap berlanjut secara layak atau justru meninggalkan beban bagi generasi berikutnya.
Perempuan tidak diminta menggantikan peran siapa pun. Kehadiran perempuan justru untuk melengkapi cara pandang, agar pembangunan tidak kehilangan sisi kemanusiaannya. Terlebih, hampir setengah penduduk Indonesia adalah perempuan, dengan kebutuhan dan pengalaman hidup yang tak selalu sama.
Di sinilah, menurut dia, Hari Ibu menemukan maknanya hari ini. Bukan sekadar mengenang perjuangan masa lalu, tetapi menegaskan tanggung jawab masa depan. Dari rumah hingga parlemen, dari peran pengasuhan hingga pengambilan keputusan, perempuan membawa satu pesan yang sama: kehidupan harus dijaga.
“Ketika perempuan ikut dilibatkan, alam ikut dilestarikan. Ketika perempuan ikut memutuskan, masa depan ikut diselamatkan,” jelas dia.
Ia mengajak perempuan Indonesia terus berdaya, mengubah gagasan menjadi aksi, dan memastikan bumi tetap menjadi rumah yang aman bagi generasi yang belum lahir. [WLC02]
Sumber: DPR






Discussion about this post