Wanaloka.com – Kamis, 14 November 2024, Mahkamah Konstitusi (MK) mengeluarkan Putusan Sela Nomor 132-PS/PUU-XXII/2024. Putusan sela itu terkait Uji Formil UU Nomor 32 Tahun 2024 tentang Perubahan atas UU Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya (KSDAHE).
Dalam pertimbangan hukum, MK memandang perlu untuk menjatuhkan putusan sela yang bertujuan untuk menunda pemeriksaan persidangan permohonan pengujian formil hingga persidangan penyelesaian perkara Perselisihan Hasil Pemilihan Kepala Daerah Tahun 2024 selesai. Permohonan uji formil itu diajukan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), Wahana Lingkungan Hidup (Walhi), Koalisi Rakyat Untuk Keadilan Perikanan (Kiara) dan Mikael Ane yang bergabung dalam Koalisi Untuk Konservasi Berkeadilan.
Pertimbangan hukum lainnya, MK memerintahkan pemerintah dan pihak lain untuk tidak menerbitkan peraturan pelaksana berkaitan dengan UU 32 Tahun 2024 hingga ada putusan akhir Mahkamah Konstitusi guna menghindari dampak lebih luas sebelum MK menilai konstitusionalitas pengujian formil atas proses pembentukan UU KSDAHE.
Baca Juga: Longsor Menimpa Satu Rumah di Purworejo, Tiga Orang Tewas
MK memandang dalam perkara a quo putusan sela diperlukan demi menghindari dampak yang akan timbul dari pemberlakuan UU 32 Tahun 2024 yang pemeriksaannya sedang diberhentikan sementara. Juga untukmemberikan kepastian hukum pada hak-hak konstitusional para Pemohon dan seluruh warga negara.
“Artinya, seluruh proses pembuatan peraturan di bawah UU KSDAHE harus dihentikan. Dan saya menyerukan agar Pemerintah mematuhi putusan sela ini,” ujar Sekretaris Jenderal AMAN, Rukka Sombolinggi.
Manajer Hukum dan Pembelaan Walhi, Teo Reffelsen menambahkan, putusan sela MK tersebut sejalan dengan permohonan provisi yang mereka ajukan. Sebab apabila peraturan pelaksana UU KSDAHE dibentuk oleh Pemerintah atau pihak lain selama proses pengujian formil berlangsung, tidak menutup kemungkinan peraturan tersebut akan berdampak buruk bagi masyarakat adat dan komunitas lokal (MAKL) serta lingkungan hidup.
Baca Juga: Awas Ancaman Banjir Lahar Hujan Gunung Lewotobi Laki-laki
Mengingat MAKL selama ini telah melakukan praktik-praktik pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya alam secara komunal yang berkelanjutan, khususnya yang tinggal di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil.
“Jadi Pemerintah dan pihak lain yang berhubungan dengan UU ini tidak boleh mengambil tindakan apapun yang membangkang pada putusan sela ini, sebelum ada putusan akhir,” tegas Teo.
Sekjen Kiara, Susan Herawati juga menekankan, terdapat setidaknya 10 ketentuan norma yang mendelegasikan pengaturan dalam UU 32 Tahun 2024 untuk diatur lebih lanjut dalam peraturan pemerintah (PP).
Baca Juga: Pemerintah Daerah Diimbau Bersiap Hadapi Potensi Bencana Hidrometeorologi November-Desember
Pengujian formil ini membuktikan kepada pemerintah sebagai penyusun peraturan perundang-undangan untuk menjalankan asas meaningfull participation (partisipasi yang bermakna) dari MAKL. Partisipasi yang bermakna itu tidak hanya diukur dari kuantitas, melainkan juga kualitas.
“Serta diakomodirnya masukan dari MAKL dalam proses pembentukan UU 32 Tahun 2024 ini,” ucap Susan.
Pada putusan yang sama, MK juga mempertegas, bahwa syarat-syarat dalam uji formil telah dipenuhi oleh para pemohon. Misalnya dalam konklusi, MK menyatakan dirinya berwenang mengadili permohonan uji formil serta permohonan yang diajukan para pemohon tidak melewati tenggang waktu pengajuan permohonan pengujian formil.
Baca Juga: Perubahan Komposisi Magma Picu Gunung Lewotobi Laki-laki Meletus Terus-menerus
Serta penegasan bahwa para Pemohon memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan a quo.
Selain AMAN, Walhi, Kiara, dan Mikael Ane, yang bergabung dalam Koalisi Untuk Konservasi Berkeadilan adalah Constitutional Lawyer Viktor Santoso Tandiasa, Greenpeace Indonesia, Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA), Working Group ICCAs Indonesia (WGII), Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN).
Pengajuan permohonan uji formil UU Nomor 32 Tahun 2024 karena UU ini hanya menjadi UU Perubahan atas UU Nomor 5 Tahun 1990. Sementara UU Perubahan atas UU Nomor 5 Tahun 1990 tidak menjawab inti persoalan konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya, karena tidak mengubah paradigma konservasi yang dianut selama ini.
Discussion about this post