Wanaloka.com – Ada lima masalah utama dalam kebijakan pengembangan Pulau Rempang, Batam sebagai Proyek Strategis Nasional (PSN). Meliputi invisibilitas hukum masyarakat Melayu, penggantian istilah relokasi menjadi transmigrasi lokal, minimnya partisipasi publik dan konsultasi bermakna, ancaman sosial ekologis, hingga potensi korupsi dan konflik kepentingan.
“Jadi kebijakan Rempang sebagai proyek PSN itu direkomendasikan untuk dievaluasi total,” kata Pakar Sosioagraria IPB University, Rina Mardiana dalam peluncuran Policy Brief Kebijakan Rempang yang disiarkan melalui YouTube Yayasan LBH Indonesia, 30 April 2025 lalu.
Ia juga membeberkan, bahwa proyek Rempang bukan inisiatif baru. Melainkan telah dimulai sejak era Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono pada 2004. Kemudian dihidupkan Kembali pada masa Presiden Joko Widodo melalui status PSN dengan nilai investasi sebesar Rp380 triliun hingga tahun 2080.
Baca juga: Mempercantik Sudut-sudut Kota Bandung dengan Mural Warna Warni
Dalam praktiknya, proyek tersebut memunculkan konflik dan pelanggaran HAM. Salah satunya, pada 7 dan 11 September 2023, terjadi eskalasi kekerasan saat aparat gabungan memasuki wilayah Rempang.
“Ribuan personel TNI-Polri bersenjata lengkap mendatangi kampung tanpa persetujuan warga. Tidak ada konsultasi publik, sehingga memicu trauma, penangkapan, dan pelanggaran terhadap hak atas rasa aman,” kata dia.
Ada tujuh langkah strategis yang direkomendasikan untuk mengevaluasi proyek atau kebijakan ini. Pertama, dilakukan evaluasi menyeluruh terhadap legalitas proyek Rempang Eco City.
Baca juga: Bencana Hidrometeorologi Landa Pulau Jawa dan Sulawesi Menelan Korban Jiwa
Kedua, hentikan penggunaan istilah transmigrasi lokal. Hindari penggunaan istilah manipulatif yang membingungkan publik.
Ketiga, pemerintah harus mengakui secara hukum 16 Kampung Melayu Tua di Rempang.
Keempat, reformulasi rantai nilai energi hijau agar lebih adil.
Baca juga: Gunanti, Ayo Kolaborasi Shelter dan Animal Welfare untuk Hewan Terlantar
Kelima, lakukan kajian ekologi yang transparan dan partisipatif untuk menanggulangi dampak tambang pasir kuarsa.
Keenam, hentikan kriminalisasi dan intimidasi terhadap warga.
Ketujuh, fasilitasi dialog yang adil dan terbuka dengan menghadirkan mediator independen.
Baca juga: Pencarian Pendaki Hilang di Gunung Binaya Dilanjutkan Hingga 19 Mei 2025
“Pembangunan yang adil berarti mendengarkan suara warga dan melindungi ruang hidup mereka. Kami bukan antipembangunan, tapi prokeadilan dan akar budaya,” tegas dia.
Relokasi disamakan dengan ‘transmigrasi lokal’
Dewan Penasihat Pusat Studi Agraria IPB University itu juga mengupas tuntas isu seputar alokasi lahan, konflik agraria, dan tantangan keadilan di pulau-pulau kecil Indonesia. Secara khusus, ia memaparkan analisisnya terkait yang terjadi di Kepulauan Seribu dan Kepulauan Riau.
Discussion about this post