Wanaloka.com – Tanggal 27 Mei 2024 lalu tepat peringatan 18 tahun gempa berkekuatan 5,9 skala Richter mengguncang DIY dan sebagian wilayah di Jawa Tengah pada pukul 05.53 WIB. Getaran kuat selama 57 detik itu mengakibatkan kerusakan ribuan bangunan dan merenggut nyawa 6.652 orang. Sebanyak 5.338 korban jiwa berasal dari DIY dan sisanya 1.314 korban jiwa berasal dari Jawa Tengah.
Peristiwa itu meninggalkan luka mendalam. Bahkan menjadi pengingat akan pentingnya kesiapan dan kesiapsiagaan menghadapi bencana. Terlebih DIY terletak di kawasan rawan gempa dengan sejumlah sesar yang berpotensi memicu gempa bumi kemudian hari. Baik sesar Opak, Progo, Oya, Dengkeng dan Mataram.
“Bahkan di sisi selatan DIY tersimpan potensi megathrust yang diperkirakan mampu memicu gempa berkekuatan mencapai magnitudo 8,7,” kata Analis Bencana Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) DIY, Fadri Mustofa.
Baca Juga: BMKG Sebut Potensi Kekeringan sampai Oktober 2024
Dokumen Kajian Risiko Bencana 2022-2026 mencatat DIY menjadi wilayah dengan risiko tinggi terhadap bencana gempa bumi.
“Lalu, seberapa siapkah kita menghadapi gempa bumi masa mendatang?” tanya Fadri yang mengajak segenap masyarakat Yogyakarta khususnya untuk merenungkan bersama pada momentum 18 Tahun Gempa Yogya kali ini.
Sesar Aktif yang Terpetakan Terus Bertambah
Gempa DIY, tepatnya gempa Bantul pada 2006 itu adalah contoh gempa bumi di Pulau Jawa yang telah terpetakan. Berdasarkan hasil pemetaan sesar aktif yang pernah dilakukan Pusat Riset Kebencanaan Geologi (PRKG) Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), terdapat enam sesar aktif di Pulau Jawa pada 2010. Angka tersebut bertambah menjadi 31 sesar aktif pada 2017 dan melonjak menjadi sekitar 75 sesar aktif pada 2024.
Baca Juga: Mitigasi Bencana Susulan Galodo di Agam BNPB Ledakan Batuan Gunung Marapi
“Yang sudah diketahui parameternya tidak sampai 30 persen,” kata Peneliti PRKG BRIN, Nuraini Rahma Hanifa dalam webinar Talk to Scientists pada 3 April 2024.
Penelitian dilakukan karena gempa merupakan peristiwa yang tidak bisa diprediksi dan tidak setiap tahun rutin terjadi. Namun bencana itu menimbulkan korban jiwa cukup banyak. Sementara Pulau Jawa merupakan salah satu pulau di Indonesia yang memiliki potensi bencana geologi besar. Jumlah penduduknya 50 persen dari total penduduk Indonesia.
“Kalau kami overlay-kan dengan jumlah penduduk di Indonesia, sekitar 200 juta penduduk Indonesia bisa mengalami goncangan gempa dengan intensitas magnitudo 6 ke atas atau sekitar 77 persen. Ada sekitar empat juta jiwa yang tinggal di atas patahan atau sesar,” jelas Nuraini.
Baca Juga: Gempa Dangkal 6,2 Magnitudo Guncang Simeulue Aceh
Pada 2017, patahan aktif sudah dipetakan sebanyak 295. Kemudian pemutahiran sumber gempa dilakukan pada 2024 dan diberi nama sekitar 400 sumber gempa.
Patahan aktif adalah patahan yang bergerak dalam kurun waktu sekitar 10 ribu tahun terakhir. Artinya, pernah terjadi satu kali gempa bumi selama rentang waktu tersebut. Gempa adalah gerakan tiba-tiba yang terjadi di dalam kerak atau lempeng bumi atau pada mantel bagian atas.
Peneliti PRKG BRIN lainnya, Sonny Aribowo mengungkapkan untuk mengetahui adanya sesar atau patahan dapat dilihat pada adanya rangkaian perbukitan dan pegunungan yang memanjang di Pulau Jawa. Kondisi itu juga mengindikasikan ada pergeseran dari aliran sungai.
Baca Juga: Korban Meninggal Bencana Longsor Pegunungan Arfak Papua Barat Bertambah
“Itu sangat jelas menjadi bukti ada pergeseran akibat tektonik. Kami akan memetakan daerah-daerah patahan aktif sesuai indikasi-indikasi yang ditemukan,” jelas Sonny.
Sementara identifikasi sesar aktif maupun sesar yang belum terpetakan juga bisa dilakukan dengan monitoring gempa mikro menggunakan jaringan seismograf Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG).
“Identifikasi sesar aktif dari hasil analisis gempa mikro adalah upaya mitigasi bencana gempa bumi. Harapannya, semua sumber gempa di darat dapat dipetakan dengan baik,” jelas Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan BMKG Rahmat Triyono.
Baca Juga: BNPB Petakan Titik Potensi Bencana Susulan Galodo di Tanah Datar
Ia menekankan perlu segera dilakukan verifikasi lapangan atau survei pemetaan melalui kolaborasi antar institusi semisal BRIN, BMKG, dan perguruan tinggi. Upaya itu dilakukan terhadap adanya indikasi sumber gempa bumi yang berada di lokasi sesar yang belum terpetakan.
Sesar yang belum terpetakan itu seperti sesar aktif usai gempa bumi di Cianjur pada 2022, Sumedang pada 2023, dan Bawean pada 2024. Ketiga gempa bumi tersebut merupakan gempa yang muncul pada sesar yang belum terpetakan dan daerah yang tidak diduga akan terjadi gempa.
Kepala Organisasi Riset Kebumian dan Maritim BRIN Ocky Karna Radjasa mengingatkan ancaman gempa bumi di Pulau Jawa tidak hanya berasal dari jalur subduksi. Perlu pengembangan riset yang menunjukkan adanya ancaman bencana sesar darat.
Baca Juga: Banjir Bandang OKU 6 Orang Meninggal, BNPB Salurkan Dana dan Logistik
“Gempa di Bawean (diawali magnitude M5,9 pada 22 Maret 2024 pukul 11.22 WIB) yang dampak guncangannya terasa hingga Surabaya, justru terjadi di lokasi yang belum terpetakan dengan baik. Pemutakhiran data sumber gempa diharapkan bisa menambah pengetahuan dan basis data patahan aktif di Jawa,” ujar dia.
Sonny menambahkan sesar-sesar di Pulau Jawa terlihat melewati kota-kota besar dengan infrastruktur yang sudah terbangun dan padat penduduk. Adapun sesar-sesar lain yang sudah terpetakan perlu dilakukan penelitian lebih detail.
“Gempa di Bawean terjadi berdasarkan data tektonik adanya patahan tua, namanya Muria fault yang mungkin reaktivasi lagi. Kami masih punya tektonik fault dari subduksi di selatan,” imbuh Sonny.
Discussion about this post