Akademisi Universitas Kristen Wira Wacana Sumba, Umbu Pajaru Lombu menjelaskan tentang Hak Menguasai Negara yang berwatak kolonial dalam UU Kehutanan. Bahwa negara merasa punya hak atas tanah termasuk kawasan hutan, padahal hak menguasai negara secara jelas dibatasi dengan wewenang mengatur, mengurus, dan menyelengarakan, bukan memiliki.
Mereka memakai hak itu untuk merusak hutan melalui pemberian izin-izin skala besar dan program-program yang merusak hutan, seperti rencana program 20 juta hektar hutan untuk pangan dan energi.
“Saya harus bilang bahwa negara lah pelaku utama pengerusakan hutan,” tegas dia.
Baca juga: Riset Konservasi dan Rehabilitasi Hasilkan Temuan Manfaat Mangrove dari Akar hingga Buah
Umbu Pajaru juga menambahkan alasan mengapa mengubah total UU Kehutanan adalah mendesak, sebab keharusan untuk meluruskan makna Hak Menguasai Negara. Hingga saat ini, negara selalu berlindung pada pasal ini. Selain itu, perubahan total UU Kehutanan ini juga dilakukan agar mampu menjawab dinamika sosial, ekonomi dan lingkungan hidup, serta kebutuhan di masa depan.
Anggota DPRD Sumba Timur, Umbu Tamu Ridi Djawawara menyampaikan kecurigaan bahwa semangat DPR merevisi UU Kehutanan karena dua hal, yaitu program pangan dan energi. Sementara perubahan menyeluruh UU Kehutanan diperlukan untuk mengakomodir kepentingan rakyat, perlindungan lingkungan, dan melestarikan hutan.
“Jadi kami dituntut untuk bisa bersama-sama mengawal proses ini, agar proses revisi menyeluruh dapat dilakukan dan keinginan kami bisa terakomodir,” kata dia.
Baca juga: Perubahan Iklim Sulit Diprediksi, BMKG Gunakan Kecerdasan Buatan
Dia juga menambahkan bahwa hutan berfungsi sangat penting, sebagai penyangga ekosistem kehidupan yang utuh. Pengubahan UU Kehutanan secara menyeluruh dibutuhkan agar mampu menjawab apa yang menjadi kebutuhan rakyat. Pengubahan total ini juga harus bisa menjawab persoalan dominasi pemodal yang selama ini menguasai hutan.
Kegagalan UU Kehutanan juga menjadi alasan utama kenapa pengubahan total undang-undang ini menjadi sangat dibutuhkan. Manager Kampanye Hutan dan Kebun Walhi Nasional, Uli Arta Siagian menyampaikan bahwa secara sosiologis, filosofis dan yuridis, undang-undang ini gagal menjawab kesejahteraan rakyat dan kelestarian hutan.
“UU Kehutanan gagal mengakui pemaknaan masyarakat adat dan komunitas lokal terhadap hutan. Bagi mereka hutan bukan sekadar kumpulan pohon atau sumber kayu, melainkan ruang hidup yang menyatu dengan identitas, spiritualitas, dan kesejahteraan. Namun UU Kehutanan dan penyelenggara negara mendefinisikan hutan dalam kacamata teknokratis,” kata dia.
Baca juga: Jatam Menduga Badan Industri Mineral untuk Memfasilitasi Pengusaha Tambang Rakus
Uli juga menguaraikan persoalan penetapan kawasan hutan yang menghasilkan banyak sekali konflik tenurial. Penetapan kawasan hutan tidak berbasis survei etnografi, pemetaan partisipatif, atau dialog berbasis pengakuan sebagai syarat utama dalam perencanaan kehutanan.
“Penetapan kawasan hutan menjadi legal but not legitimate,” imbuh dia.
Secara yuridis, UU Kehutanan compang-camping. Tidak mempertimbangkan putusan hasil peninjauan kembali yang Mahkamah Konstitusi yang dikeluarkan, seperti definisi hutan dan hak masyarakat.
“Jadi tidak cukup hanya revisi. Butuh UU Kehutanan baru,” ucap Uli.
Baca juga: Sama-sama Menyengat, Lebah adalah Herbivor dan Tawon adalah Predator
Atas dasar persoalan-persoalan tersebut, di Aula Kampus Unkriswina, Kabupaten Sumba Timur, Kamis, 28 Agustus 2025, Aliansi Selamatkan Hutan Adat di NTT yang tergabung dari Jaringan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), Komunitas Masyarakat Adat, Komunitas Lokal, Akademisi, Mahasiswa dan lain-lain dengan tegas menuntut:
Pertama, mendesak Pemerintah dan DPR untuk melakukan revisi total Undang-Undang Kehutanan yang berkeadilan ekologis dan berperspektif Hak Asasi Manusia.
Kedua, menolak segala bentuk revisi Undang-Undang Kehutanan yang melegalkan perambahan hutan dan eksploitasi sumber daya alam dan yang mengabaikan hak-hak masyarakat adat dan kelestarian lingkungan.
Baca juga: Peluncuran Naskah Akademik RUU Keadilan Iklim, Politisi Janjikan Masuk Prolegnas 2026
Ketiga, mengesahkan Undang-Undang Masyarakat Adat dan mendorong pengakuan dan perlindungan hak-hak masyarakat adat atas hutan dan sumber daya alam, termasuk melalui publikasi aturan pengakuan masyarakat adat oleh pemerintah daerah di NTT.
Keempat, partisipasi aktif seluruh elemen masyarakat dalam mengawal proses revisi Undang-Undang Kehutanan agar sesuai dengan prinsip-prinsip keadilan ekologis dan Hak Asasi Manusia. [WLC02]
Sumber: Walhi
Discussion about this post