“Jangan sampai pemindahan IKN hanya sebagai retorika politik dan praktik politik mercusuar,” papar Arif.
Dia berpandangan, nama ibu kota negara sebaiknya merujuk pada nama wilayah itu sebelumnya. Sebab, bila terjadi pemilihan nama baru untuk sebuah wilayah biasanya akan menghilangkan aspek historis dan konstruksi sosial budaya masyarakat yang sudah menempati sebelumnya.
“Dalam kajian sejarah, nama-nama kota, apalagi ibu kota, selalu terkait dengan kemegahan kota masa lalu,” pungkasnya.
Ada motif setiap pemindahan ibu kota negara
Cita-cita pemindahan ibu kota negara dari Jakarta ke Kalimantan sudah tercetus sejak masa Presiden Sukarno. Namun, lanjut Arif, Sukarno punya motif pemindahan yang berbeda dengan masa Presiden Joko Widodo. Sepanjang pengetahuannya, berbagai motif dan alasan melatarbelakangi setiap perpindahan IKN. Misalnya, ibu kota negara pernah pindah ke Yogyakarta pada 1946 karena kondisi politik Jakarta tidak aman, revolutif, dan di bawah ancaman agresi militer Belanda.
Baca Juga: Kisah Mark Zuckerberg hingga Raja Belanda Blusukkan ke Kampoeng Cyber
Sementara gagasan pemindahan ibu kota negara ke Palangkaraya oleh Sukarno pada 1957, menurut Arif, salah satunya karena ada intrik politik militer pada 1957 dengan gerakan separatisme dari berbagai daerah, sehingga Jakarta tidak aman.
“Jadi persoalan perpindahan IKN ini bukan sekedar relevan atau tidak. Namun seberapa jauh urgensi dan kesiapan berbagai bidang dalam mengatur keseimbangan dan keadilan pembangunan. Lebih jauh lagi, kebijakan makro dalam konteks pembangunan, termasuk perpindahan IKN jangan sampai ahistoris dan bersifat politis,” papar Arif, dilansir dari laman ugm.ac.id, Kamis, 20 Januari 2022. [WLC02]
Discussion about this post