Wanaloka.com – Penghancuran sisa bangunan Rumoh Geudong di Gampong Bili Aron, Kecamatan Glumpang Tiga, Kabupaten Pidie, Provinsi Aceh tak hanya mendapat kecaman dari para aktivis hak asasi manusia. Melainkan juga disesalkan para pemerhati sejarah. Lantaran sejak bangunan itu didirikan hingga dibakar sehingga hanya menyisakan pondasi, lantai, dan anak tangga (undakan) bangunan rumah panggung ternyata menyimpan beragam sejarah. Seperti apa sejarah Rumoh Geudong itu?
Dikutip dari laman Kontras Aceh dan penjelasan Pemimpin Darud Donya Cut Putri dalam keterangan pers tertanggal 23 Juni 2023 mengisahkan Rumoh Geudong dibangun pada 1818 oleh Ampon Raja Lamkuta di tengah lahan seluas 150×80 meter persegi. Dia adalah seorang uleebalang (bangsawan) yang tinggal di Rumoh Raya yang berjarak sekitar 200 meter dari Rumoh Geudong. Semasa masyarakat Aceh berperang melawan Belanda, Rumoh Geudong sering digunakan menjadi pos pengatur strategi perang atas prakarsa Raja Lamkuta dan teman-teman seperjuangannya.
Usai Raja Lamkuta wafat, Rumoh Geudong ditempati adiknya, Teuku Cut Ahmad. Kemudian dilanjutkan oleh Teuku Keujren Rahmad, Teuku Keujren Husein, dan Teuku Keujren Gade. Rumoh Geudong juga dijadikan basis perjuangan melawan tentara Jepang. Sejak masa Jepang hingga Indonesia merdeka, rumah itu dihuni oleh Teuku Raja Umar dan keturunannya, yakni anak dari Teuku Keujren Husein.
Baca Juga: Karhutla di Palangkaraya Diduga Dampak Pembukaan Lahan
Sejak April 1990, Rumoh Geudong digunakan menjadi pos militer, Yakni Pos Satuan Taktis dan Strategis (Pos Sattis). Saat itu, Pemerintah Indonesia masa Presiden Soeharto memberlakukan Operasi Militer di Aceh. Rumoh Geudong itu ditempati paksa oleh tentara tanpa seizin pemiliknya. Meskipun pemilik Rumoh Geudong sempat menyatakan keberatannya. Namun, pasukan pemerintah sudah membuat rumah itu menjadi lokasi genosida atau pembunuhan massal terhadap rakyat Aceh.
Selama Aceh ditetapkan dalam status Daerah Operasi Militer (DOM) 1989-1998, Rumoh Geudong dijadikan sebagai kamp konsentrasi militer. Sekaligus tempat untuk mengawasi masyarakat oleh pasukan Kopassus.
Konon, saat Rumoh Geudong dikuasai aparat militer, muncullah orang tua alim yang mengatakan bahwa siapapun yang berbuat jahat di Rumoh Geudong kelak akan ditimpa bala bencana dan mati menyedihkan. Dan semua pelaku DOM mulai dari pemimpin yang terendah tertimpa bala bencana dan mati menyedihkan dilupakan dalam sejarah.
Baca Juga: Jawa Tengah Dilanda Kekeringan Ribuan Warga Kesulitan Air Bersih
Dikutip dari Sinar Pidie, pada 20 Agustus 1998, Tim Pencari Fakta (TPF) Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) yang dipimpin Baharuddin Lopa datang berkunjung untuk menyelidiki dugaan pelanggaran HAM di sana. Merea bertemu dengan para penyintas di sana. Tim ini juga membongkar kuburan di kawasan Rumoh Geudong. Namun sepeninggal tim tersebut, Rumoh Geudong dibakar massa pada hari yang sama. Bangunan panggung dari kayu itu pun dilalap si jago merah. Menyisakan bangunan beton berupa pondasi dan anak tangga. Usai itu, pengurusan Rumoh Geudong dipercayakan kepada Cut Maidawati.
“Jadi zaman dahulu, Rumoh Geudong menjadi kawasan tokoh pejuang Aceh dan basis perjuangan melawan Belanda. Kemudian meletus DOM. Bangunan itu diduduki paksa dan menjadi tempat genosida. Artinya, Rumoh Geudong menjadi situs sejarah yang dulu sangat dijaga,” jelas Cut Putri.
Perkembangannya, para penyintas dan masyarakat sipil Aceh berupaya merawat cerita para korban dan penyintas DOM Aceh, serta menuntut keadilan atas pelanggaran yang mereka alami. Salah satu upaya yang dilakukan penyintas adalah membangun tugu peringatan di Rumoh Geudong yang diresmikan Bupati Pidie waktu itu, Roni Ahmad.
Baca Juga: Warga Dairi Gelar Mangandung, KLHK Izinkan Tambang di Daerah Rawan Bencana
Tugu peringatan itu untuk mengingat kekerasan yang terjadi masa lalu dan mengenang keluarga yang telah pergi. Mereka secara rutin menggelar doa bersama, merawat sisa bangunan, serta menjadi ruang pemulihan korban dan pendidikan bagi generasi muda agar kekerasan yang sama tidak terulang lagi.
Hingga kemudian pada 20-21 Juni 2023, aparat Pemerintah Pidie meratakan sisa-sisa bangunan tersebut. Hanya menyisakan undakan yang kelak akan ditunjukkan kepada Jokowi, bahwa itu undakan Rumoh Geudong. Dilansir dari laman Sinar Pidie, alasan Penjabat Bupati Pidie Wahyudi, lokasi tersebut akan digunakan untuk pembukaan Pelaksanaan Rekomendasi Tim Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran HAM yang Berat tanggal 27 Juni 2023 yang akan dihadiri Presiden Joko Widodo. Usai itu, lahan bekas Rumoh Geudong itu akan dibebaskan seluas 7.000 meter dan akan didirikan masjid. Sementara Pemerintah Pidie meyakini Rumoh Geudong bukanlah situs cagar budaya.
“Ini upaya nyata penghilangan bukti sejarah Aceh masa konflik dan perang. Langkah ini bisa memutus sejarah dan memori kolektif atas kekejaman masa DOM yang harusnya jadi pembelajaran untuk generasi mendatang,” ujar Cut Putri yang mengecam pemusnahan situs itu.
Baca Juga: Komnas HAM Temui Warga Wadas yang Menolak Serahkan Tanahnya untuk Tambang Andesit
Padahal Pemerintah Indonesia melalui Komnas HAM sudah mengakui ada pelanggaran HAM berat masa lalu di Rumoh Geudong. Mengingat banyak rakyat Aceh yang disiksa dan dibunuh masa DOM di rumah itu.
Menurut Cut Putri, langkah pemusnahan Rumoh Geudong bisa menimbulkan luka baru, sementara luka lama belum sembuh. Juga bisa menimbulkan kemarahan rakyat Aceh dan perlawanan rakyat Aceh, mengingat rakyat Aceh adalah para pejuang teguh dan umumnya tabah terhadap cobaan.
“Ini akan menjadi masalah baru ke depan,” kata Cut Putri.
Baca Juga: Pandemi Covid-19 Berakhir, Presiden: Indonesia Masuk Masa Endemi
Rumoh Geudong Harus Dibangun Ulang
Salah satu solusi menurut Darud Donya adalah pemerintah membangun ulang Museum Genosida Rumoh Geudong. Pembangunan Museum Genosida Rumoh Geudong akan menjadi bagian wisata sejarah genosida di Aceh.
Apalagi sudah dikenal beberapa museum genosida di beberapa negara. Seperti Museum Genosida di Rwanda, Museum Pembantaian Kaum Indian di Amerika, Museum Holocaust di Jerman, Museum Genosida Polpot Khmer Merah di Kamboja, Museum Nanjing di Cina, Kamp konsentrasi Auschwitz di Polandia, dan sebagainya. Semua museum itu dibangun langsung oleh pemerintah setempat untuk mengenang sejarah bangsanya dan menjadi pembelajaran masyarakat dunia.
Pembangunan Museum Genosida Aceh menjadi bukti pengingat untuk generasi yang akan datang akan dampak perang yang penuh angkara murka dan saling memusnahkan antar sesama manusia. Generasi mendatang agar belajar sejarah, sehingga kesalahan, kekejaman dan kepedihan yang sama tidak akan pernah kembali berulang. Peristiwa sejarah itu harus dikenang sebagai bukti kebesaran jiwa anak bangsa dalam usaha menciptakan perdamaian.
Baca Juga: Merespons Ancaman Gempa Sesar Opak Yogyakarta
“Kalau pemerintah beralasan memusnahkan situs sejarah Rumoh Gedong agar kita melupakan sejarah perang supaya tidak ada dendam, lalu untuk apa kita masih melestarikan peninggalan sejarah perang Belanda yang kelam?” tanya Cut Putri.
Discussion about this post