Ia mencontohkan, selama ini peninggalan perang dengan Belanda dijaga dan dilestarikan. Menjadi situs sejarah dan cagar budaya untuk mengenang efek perang yang merugikan keduabelah pihak dan pembelajaran masa depan.
Hubungan sejarah Aceh dan Belanda pun semakin baik. Banyak pelajar mendapatkan beasiswa ke Belanda. Bahkan Belanda juga membantu pembangunan Aceh, begitu pun terjadi di seluruh Indonesia. Demikian juga dalam merawat sejarah memori kelam Tsunami Aceh.
Baca Juga: Klaim Indonesia Maju dari Pabrik Smelter ke Smelter
“Kalau Pemerintah beralasan memusnahkan situs sejarah Rumah Gedong agar kita tidak lagi mengenang kesedihan dan kepedihan, lalu untuk apa dibuat peringatan Tsunami setiap tahun?” tanya Cut Putri lagi.
Rakyat Aceh yang mengalami tsunami tentu masih merasa sedih dan terpukul.
“Tapi kami tetap harus kuat, bahkan menceritakannya berulang-ulang kepada generasi penerus. Walau kami sendiri harus menahan kepedihan mendalam”, imbuh dia.
Baca Juga: Bantimurung Bulusaraung Ma’rupanne Diakui Bagian Cagar Biosfer Dunia
Situs-situs sejarah Tsunami dilestarikan. Museum-museum peringatan Tsunami didirikan untuk mengingat dan mengenang segala kepedihan, kehilangan, kerugian dan kerusakan yang pernah terjadi dalam sejarah bangsa ini.
“Bukan untuk menimbulkan kesedihan berkepanjangan, tetapi untuk mengingatkan betapa kuatnya kita sebagai manusia yang dapat bangkit kembali, bersaudara, bersatu dan bersama belajar agar yang sama tidak terulang lagi. Pembelajaran sejarah Inilah yang harus diwariskan kepada generasi masa depan,” papar Cut Putri.
Rumoh Geudong adalah Situs Sejarah
Wahyudi juga membantah dirinya tidak berperspektif HAM karena menghancurkan sisa bangunan Rumoh Geudong.
Baca Juga: Birdwatching, Mengamati Burung Liar Terbang Bebas di TWA Kerandangan
“Oh, itu salah. Justru saya melihat ada motivasi yang salah ketika kita membiarkan ada kenangan-kenangan luka. Ini bukan situs sejarah,” kata mantan Kepala Badan Intelijen Nasional (BIN) Nusa Tenggara Barat 2019-2021 yang dilantik menjadi Pj Bupati Pidie pada 18 Juli 2022 dalam wawancara dengan Sinar Pidie.
Cut Putri juga menolak pernyataan Pemerintah Pidie bahwa Rumoh Gedong bukan situs sejarah. Ia meminta Pemerintah Pidie mempelajari kembali Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya, Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2022, serta peraturan perundang-undangan terkait lainnya.
Bahwa objek yaitu benda, struktur, bangunan dan/atau lokasi kawasan yang memenuhi kriteria sudah berusia lebih dari 50 tahun, atau yang belum mencapai 50 tahun namun memiliki arti khusus bagi sejarah, ilmu pengetahuan, pendidikan, agama, dan/atau kebudayaan; dan memiliki nilai budaya bagi penguatan kepribadian bangsa, dapat memenuhi kriteria sebagai Cagar Budaya.
Baca Juga: Badan Geologi Jadi Kunci Pengungkap Potensi Sumber Daya Alam
Situs sejarah adalah bagian warisan atas benda atau kawasan yang menjadi tempat dilestarikannya kepingan sejarah politik, militer, budaya, atau sosial karena mengandung memorial kolektif dan nilai warisan sejarah budaya.
Pemerintah juga berkewajiban melakukan pencarian benda, bangunan, struktur, dan/atau lokasi yang diduga sebagai Cagar Budaya, untuk dilestarikan dan dirawat sebagai bagian dari sejarah bangsa.
“Situs sejarah sebagai Objek yang Diduga Cagar Budaya atau ODCB, dilindungi oleh peraturan perundang-undangan. Jadi pemusnahan situs sejarah Rumoh Gedong adalah pelanggaran peraturan perundang-undangan yang nyata!”, tegas Cut Putri.
Baca Juga: Angin Kencang, Karhutla di Dairi Sulit Dipadamkan
Darud Donya juga meminta Pemerintah Pidie memperhatikan Fatwa Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Aceh Nomor 5 Tahun 2020 tentang Pemeliharaan Situs Sejarah dan Cagar Budaya Dalam Perspektif Syari’at Islam yang aantara lain menetapkan, bahwa, “Hukum menghilangkan, merusak, mengotori dan melecehkan nilai-nilai Cagar Budaya Islami adalah HARAM”. Kemudian MPU Aceh menerbitkan Tausiyah yang meminta kepada Pemerintah Aceh, Pemerintah Kabupaten/Kota untuk MELESTARIKAN DAN TIDAK MENGGUSUR Situs Sejarah dan Cagar Budaya dalam rangka pembangunan di Aceh.
Darud Donya meminta Pemerintah Pidie dan Pemerintah Pusat berjiwa besar, sebagaimana jiwa besarnya Bangsa Aceh “memerdekakan” Indonesia dari Belanda dulu. Tanpa Aceh, Indonesia tidak akan ada.
“Memandanglah dari sudut pandang yang positif, bukan dari sudut pandang dendam atau kesedihan. Mari kita kenang segala sejarah kelam itu sebagai bagian dari sejarah besar bangsa untuk pembelajaran bagi generasi penerus,” kata Cut Putri kepada Pemerintah Pusat dan Pemerintah Pidie.
Baca Juga: Nelayan Rupat Korban Tambang Pasir Laut, Tangkapan Berkurang dan Pulau Terancam Hilang
Jadi Wisata Sejarah Genosida
Darud Donya meminta dibangun ulang Museum Genosida Rumoh Geudong, sebagaimana yang dilakukan negara-negara lain di dunia untuk mengenang kejamnya perang yang pernah terjadi di sana. Pembangunan museum akan menjadi bagian wisata sejarah genosida di Aceh. Mengingat Aceh adalah negeri yang kaya dengan sejarah. Selain wisata religi, wisata sejarah di Aceh akan semakin bertambah dengan adanya Museum Genosida Aceh.
“Museum ini akan menjadi pusat pembelajaran dunia. Seluruh dunia akan datang ke Aceh untuk belajar akan jiwa besar kedua pihak dalam menciptakan perdamaian yang hakiki,” ucap Cut Putri. [WLC02]
Sumber: Kontras Aceh, Sinar Pidie
Discussion about this post