Wanaloka.com – Peresmian Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) PT Poso Energy berkapasitas 515 Megawatt di Kabupaten Poso, Sulawesi Tengah, pada 25 Februari 2022 mendapat kecaman Masyarakat Adat Danau Poso bersama koalisi organisasi masyarakat sipil yang terdiri dari KPA, Walhi, AMAN, Jatam, Solidaritas Perempuan, dan Bersihkan Indonesia. Meskipun Jokowi berdalih pembangunan PLTA di sejumlah daerah di Tanah Air guna mendukung transformasi energi baru terbarukan (EBT). Indonesia disebut memiliki potensi besar di energi hijau baik dari hidro, geotermal, tenaga surya, angin, hingga panas permukaan air laut.
Lantas mengapa masyarakat adat dan aktivis lingkungan mengecam megaproyek PLTA itu?
“Kami mengecam sikap pemerintah yang terus memaksa pengembangan PLTA Poso yang mempertaruhkan keselamatan rakyat dan lingkungan,” kata Yombu Wuri, juru bicara Masyarakat Adat Danau Poso dalam siaran pers koalisi tersebut.
Baca Juga: YLBHI: Kekerasan terhadap Perempuan dalam Konflik Agraria dan Lingkungan Belum Dianggap Krusial
Megaproyek PLTA Poso telah menimbulkan berbagai masalah seperti perampasan tanah, kerusakan lingkungan dan kemiskinan. Padahal Danau Poso sebagai identitas dan sumber kehidupan masyarakat adat di sekitarnya sejak beratus tahun lamanya menjadi tulang punggung perekonomian warga.
Kehidupan dan masa depan ribuan warga yang bermukim di hulu-hilir Danau Poso sangat bergantung pada danau terbesar ketiga di Indonesia itu. Pengelolaan lahan pertanian seperti sawah dan kebun di pinggiran danau mengikuti siklus air dari danau. Demikian juga dengan nelayan tradisional dan penambang pasir tradisional yang menjadikan danau sebagai sumber mata pencaharian. Danau purba yang menjadi jantung Wallace ini juga kaya akan biota laut yang selama ini terus dijaga oleh masyarakat. Bahkan para peneliti dunia menjadikannya laboratorium alam.
Kini, Danau Poso dicaplok. Aliran airnya dibendung untuk membangkit sumber energi listrik. Air sungai yang selama ini esensial bagi warga setempat dimanfaatkan PLTA Poso untuk menghidupkan 11 turbin PLTA Poso I (4×30 MW), PLTA Poso II (3×65 MW), dan PLTA extension (4×50 MW). Untuk memaksimalkan turbin PLTA, PT Poso Energy melakukan pengerukan sepanjang 12,8 km di outlet danau dan mereklamasi wilayah adat danau dengan dalih penataan sungai.
Baca Juga: Sulawesi Utara dan Maluku Diguncang Gempa di Atas 5 Magnitudo
Untuk menjaga pasokan kebutuhan PLTA Poso, perusahaan mulai membicarakan rencana pembebasan tanah di sekeliling danau. PLTA Poso bertujuan untuk pemenuhan keterbutuhan listrik, sehingga skema pembebasan tanahnya kemungkinan besar menggunakan skema pengadaan tanah untuk kepentingan umum. Namun proses pembebasan lahan 18 desa di sekeliling danau untuk PLTA I, maupun lokasi rencana PLTA III, tidak pernah ada keterbukaan proses penetapan lokasi pengadaan tanah untuk kepentingan umum.
Alasan Masyarakat Danau Poso Menentang
Pembangunan PLTA Poso I telah ditentang masyarakat Danau Poso sejak awal pembangunan. Pertama, karena sama sekali tidak mengikutsertakan peran dan partisipasi masyarakat, khususnya masyarakat adat. Suara-suara penolakan warga pun telah berulang kali disampaikan kepada pemerintah, tetapi tidak digubris dan ditindaklanjuti. Kedua, kehadiran PLTA Poso juga pernah menyebabkan konflik antar warga di Desa Sulewana dan Desa Peura yang berlanjut hingga saat ini. Beberapa mengalami intimidasi dan ada proses ganti rugi yang tidak sesuai dan persoalan lainnya.
Baca Juga: Selamat Jalan Hilman “Lupus” Hariwijaya…
Ketiga, perempuan pun menghadapi tantangan berlapis karena sering kali tidak dianggap sebagai pemegang kepentingan untuk hadir dan menyampaikan pendapatnya. Padahal, peran dan pengalaman perempuan sangat relevan di berbagai lini kehidupan masyarakat, termasuk di dalam pengelolaan sumber-sumber agraria dan pelestarian lingkungan.
“Namun pemerintah justru terus mendorong agar PLTA ini segera dioperasikan, meski hingga hari ini warga setempat menolak keras,” imbuh Yombu.
Dampak Pemaksaan Megaproyek PLTA Poso
Upaya paksa pemerintah dalam pembangunan PLTA telah mempertaruhkan keselamatan dan masa depan warga dan ruang hidupnya. Dampaknya sudah dirasakan warga usai uji coba pintu air bendungan PLTA Poso I pada April 2020 lalu. Ujicoba itu mengakibatkan sekitar 266 hektare lahan sawah dan kebun di 16 desa sekeliling danau tenggelam-terendam air. Kemudian ladang penggembalaan tenggelam, 94 kerbau Desa Tokilo mati dalam rentang 2 bulan, hilangnya tradisi budaya Danau Mosango di wilayah Kompodongi, dan mata pencaharian nelayan tradisional terganggu.
Uji coba PLTA Poso juga merusak siklus air dan keanekaragaman hayati Danau Poso, mencemari sumber air warga, dan merendam rawa yang berperan penting bagi perkembangbiakan biota danau. Namun di tengah derita dan jeritan warga, Jokowi justru meresmikannya.
Baca Juga: Sudah Vaksin Lengkap, Perjalanan Domestik Tidak Perlu Swab Antigen
“Rasa bangga telah meresmikan pembangkit EBT terbesar di Indonesia, jelas-jelas langkah yang melukai hati ribuan warga di sekitar Danau Poso,”
Dengan mengatasnamakan EBT, pemerintah berdalih mengupayakan menjaga lingkungan dengan meninggalkan batubara. Nyatanya PLTA Poso yang selama ini sudah berjalan telah mengganggu ekologi. Bahkan menyebabkan hilangnya endemik ikan di Sungai Poso. Juga mengancam keberlangsungan kehidupan ribuan masyarakat adat yang tinggal di sekitar danau.
Discussion about this post