Wanaloka.com – Tanggal 8 Maret yang merupakan Hari Perempuan Internasional (International Women’s Day atau IWD) dimaknai sebagai momentum untuk menuntut adanya perubahan, kesamaan dan keadilan bagi perempuan.
Selama mengadvokasi, banyak kasus yang berkaitan dengan hukum dan hak asasi manusia di mana perempuan selalu menjadi aktor yang paling merasakan dampaknya secara langsung dan tak langsung. Kondisi ini akibat ada ketimpangan pengetahuan, derajat sosial, minimnya akses, budaya patriarki, juga represi negara.
Pada banyak kasus ketidakadilan yang dialami oleh perempuan seringkali terjadi karena negara lalai, tidak hadir, membiarkan bahkan menjadi pelaku utama dalam praktik kekerasan yang dialami perempuan. Terlebih lagi, negara yang saat ini dikuasai para oligarki, kemudian menjadi rekan pengusaha dan perusahaan yang banyak melakukan tindakan sewenang-wenang. Mereka mewujud dalam kebijakan yang timpang seperti UU Cipta Kerja dan UU tentang Penanggulangan Bencana, juga UU yang tidak kunjung disahkan seperti RUU TPKS dan RUU PPRT.
Baca Juga: Sulawesi Utara dan Maluku Diguncang Gempa di Atas 5 Magnitudo
Ada 11 kategori kelompok perempuan yang telah diadvokasi YLBHI dan 17 LBH. Lima di antaranya meliputi perempuan dalam konflik agraria, perempuan dalam pengelolaan sumber daya alam, perempuan dalam situasi bencana, perempuan dan lingkungan, serta perempuan masyarakat adat.
Sementara enam lainnya adalah perempuan dalam jerat pinjaman online, perempuan dan kekerasan seksual, perempuan dan kekerasan dalam rumah tangga, perempuan buruh migran, kelompok minoritas (LGBTQ), dan perempuan disabilitas rentan pelecehan seksual.
“Dalam momen ini, kami mendesak pemerintah dan DPR untuk menghentikan segala bentuk kesewenang-wenangan terhadap ruang hidup perempuan,” demikian seruan YLBHI dan 17 LBH (LBH Papua, LBH Manado, LBH Makassar, LBH Palangkaraya, LBH Samarinda, LBH Bali, LBH Surabaya, LBH Yogyakarta, LBH Semarang, LBH Bandung, LBH Jakarta, LBH Lampung, LBH Padang, LBH Palembang, LBH Pekanbaru, LBH Medan, LBH Banda Aceh) di Indonesia dalam siaran pers yang diterima Wanaloka, Selasa, 8 Maret 2022.
Lantas, bagaimana kondisi lima kelompok perempuan yang mengalami represi tersebut?
1. Perempuan Dalam Konflik Agraria
Kekerasan terhadap perempuan dalam konflik-konflik agraria dan lingkungan belum dilihat sebagai persoalan yang krusial. Suara perempuan masih tersubordinasi dalam setiap proses pembangunan. Padahal perempuan, khususnya perempuan adat memiliki potensi besar dalam menjaga serta melindungi keberlangsungan ekosistem alam. Perempuan juga mengalami dampak yang berlipat akibat konflik dengan aparat saat mempertahankan hak atas tanah serta lingkungannya.
Sebagaimana konflik di Desa Wadas, Kecamatan Bener, Kabupaten Purworejo pada 23 April 2021 dan 8 Februari 2022 yang menimbulkan trauma mendalam bagi perempuan Wadas. Belum selesai dengan traumanya sendiri, perempuan harus tetap menjadi pihak yang melindungi dan mengayomi anak-anaknya. Belum lagi dampak ekonomi yang terjadi akibat kerusakan lingkungan secara tidak langsung juga akan mempengaruhi kesejahteraan perempuan.
Baca Juga: Punya Risiko Tinggi Diabetes, Lakukan Skrining Dini Setahun Sekali
Perempuan Wadas dihadapkan pada situasi dimana mereka ditindas secara fisik, maupun psikis. Ruang geraknya dibatasi hanya karena mereka perempuan, seolah-olah mempertahankan alam dan lingkungannya bukanlah tugas mereka. Padahal ada keterkaitan antara perempuan dan alam, seperti mereka yg lebih membutuhkan air untuk kebutuhan pangan, merawat anak, serta mengurus tanaman dan hewan.
Perempuan Wadas bekerja setiap hari membuat anyaman besek yang bahan utamanya diambil dari bambu di hutan. Tentu saja, jika terjadi konflik pengambilan lahan yang akan dilakukan pemerintah, maka mereka akan selalu berdiri paling depan menentang. Mengingat tanah yang ditinggalkan leluhur tersebut, bagi mereka merupakan identitas yang harus dirawat dan dijaga hingga kelak diwariskan kembali kepada anak cucu.
Apa yang terjadi di Wadas juga terjadi di beberapa daerah. Perempuan dalam pusaran konflik agraria merasakan dampak besar. Seperti penggusuran yang dilakukan PTPN II di Desa Helvetia, Kabupaten Deli Serdang, Sumatera Utara yang mengakibatkan banyak korban perempuan kekurangan akses atas kesehatan dan tempat tinggal.
Baca Juga: Perang Rusia-Ukraina, 9 Warga Binjai Terjebak di Kota Chernihiv
Tidak hanya dalam konflik agraria antara masyarakat dengan perusahaan, kasus penggusuran paksa di Tamansari, Bandung, Jawa Barat juga memberikan dampak besar pada perempuan. Dalam catatan LBH Bandung, penggusuran paksa yang dilakukan dalam kurun waktu lima tahun telah menambah populasi miskin, mencerabut relasi sosial, mengubah ruang hidup, serta mendesak perempuan terserap dalam industri hiburan dan jasa. Singkat kata, feminisasi kerja atau memproletarkan perempuan berasal dari praktik penggusuran paksa
2. Perempuan Dalam Pengelolaan Sumber Daya Alam
Ilustrasi agraria. Foto shameersrk/pixabay.com.LBH Palembang mencatat terjadinya alih fungsi hutan menjadi konsesi perusahaan skala besar dalam bentuk HTI, perkebunan, dan pertambangan menyebabkan munculnya berbagai dampak negatif dan mempengaruhi situasi sosial, ekonomi, budaya dan politik. Kondisi ini sangat berdampak terhadap kelangsungan hidup masyarakat.
Perkembangan globalisasi, degradasi lahan dan deforestasi juga berdampak buruk terhadap perempuan yang menjadikan hutan sebagai salah satu sumber kehidupan. Contohnya dapat dilihat dengan kehadiran perkebunan skala besar yang telah menghilangkan akses dan kontrol perempuan atas lahan. Situasi ini mengakibatkan banyak perempuan mengalami ketidakadilan, ketergantungan ekonomi dan terpinggirkan.
Baca Juga: Sudah Vaksin Lengkap, Perjalanan Domestik Tidak Perlu Swab Antigen
Kondisi perempuan yang semakin marjinal kala perempuan tidak mendapatkan pengetahuan atau informasi terkait dengan situasi lahan yang terjadi di wilayahnya, mengakibatkan perempuan tidak memiliki akses dan kontrol terhadap semua keputusan yang diambil oleh kelompok laki-laki maupun pemerintah desa. Akibatnya, perempuan seringkali tidak dapat menyampaikan persoalan mereka terkait hak atas tanah dan pengelolaannya. Mengingat konstruksi yang berkembang, perempuan seringkali dilupakan dan tidak ikut terlibat dalam proses pengambilan keputusan, baik di ranah keluarga, masyarakat, negara (baik di tingkat komunitas, daerah, hingga pusat) yang merupakan salah satu ruang untuk membahas perencanaan, pemanfaatan, monitoring, dan evaluasi dalam pembangunan.
3. Perempuan Dalam Situasi Bencana
Discussion about this post