Wanaloka.com – Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) bersama Gerakan Perempuan Sapar (Grapas) menyuarakan kembali penolakan keras terhadap pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLT Geothermal) di wilayah Padarincang, Banten. Apalagi proyek tersebut mengabaikan tiga dimensi perlindungan terhadap hak asasi manusia, yakni hak untuk hidup aman, hak atas sumber kehidupan, dan hak untuk mengembangkan kehidupan. Sebaliknya, negara telah terlibat perampasan ketiga hak itu dalam beberapa dekade terakhir.
“Di sini, perempuan berdiri sejajar dengan laki-laki dalam berjuang mempertahankan hak hidup. Perampasan sumber-sumber penghidupan adalah pelanggaran HAM serius,” tegas perwakilan Grapas, Eha Suhaeni dalam orasi Panggung Rakyat dan istighotsah bertepatan Hari HAM Internasional yang digelar Grapas, 10 Desember 2023. Dalam acara tersebut juga dilakukan doa bersama untuk keselamatan warga Palestina dan menyampaikan solidaritas yang kuat atas hak hidup warga Palestina yang terus dilanggar.
Lebih lanjut perempuan sepuh berusia 60 tahun yang biasa disapa ustadzah Umi Eha itu juga menyoroti dampak sosial dan agama yang tak terhindarkan akibat rencana pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLT Geotermal) di wilayahnya. Menurut Umi Eha, Padarincang bukan sekadar kawasan geografis, melainkan juga pusat pendidikan agama dengan kehadiran banyak santri dan ulama.
Baca Juga: Gempa Darat di Kuantan Singingi Riau, Ini Analisis dan Rekomendasi BMKG
Pendidikan agama adalah pondasi kehidupan masyarakat Padarincang. Santri, ulama, dan masyarakat secara luas memanfaatkan sumber daya alam untuk memastikan ketersediaan air yang menjadi kebutuhan utama dalam lingkup kehidupan agama.
“Kekurangan air bukan hanya berarti persoalan fisik, tapi akan menciptakan krisis sosial yang menyeluruh. Santri, ulama, dan masyarakat bergantung pada ketersediaan air untuk menjalankan aktivitas sehari-hari, termasuk dalam menjalankan ibadah dan menyelenggarakan pendidikan agama,” tambah Umi Eha dengan nada prihatin.
Ia menekankan bahwa upaya menolak proyek PLT Geothermal bukanlah semata-mata soal lingkungan. Melainkan juga tentang harmonisasi kehidupan, kerukunan, agama, pendidikan dan keselarasan hidup masyarakat Padarincang yang telah terbentuk selama bertahun-tahun. Begitupun penolakan Proyek Strategis Nasional (PSN) dan perampasan tanah lainnya di seluruh tanah air, bukanlah semata-mata soal ekonomi, melainkan juga soal identitas, nilai-nilai, keyakinan dan tanggung jawab pada generasi selanjutnya.
Baca Juga: Pencarian Korban Hilang Banjir Bandang Humbahas Diperpanjang 3 Hari
Delapan Tahun Perlawanan
Perlawanan masyarakat Padarincang menolak pembangunan PLT Geothermal sudah memasuki tahun yang kedelapan. Masyarakat meyakini, membuat lubang sampai ke perut bumi untuk mengeluarkan energi panas akan merusak ekosistem alam, menyebabkan kekurangan air, dan mengganggu mata pencaharian utama penduduk yang sebagian besar adalah petani.
Masyarakat Padarincang telah berupaya keras, mulai dari unjuk rasa, dialog dengan pemerintah, mengusir alat-alat berat hingga menyegel lokasi proyek. Namun pembangunan PLT Geothermal Padarincang sebagai bagian dari PSN belum dibatalkan secara resmi oleh pemerintah.
Awalnya, proyek ini ditetapkan sebagai Wilayah Kerja Panas Bumi (WKP) Kaldera Danau Banten melalui keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Nomor 0026K/30/MEM/2009 pada 15 Januari 2009. PT Sintesa Banten Geothermal ditunjuk pemerintah sebagai pelaksana proyek.
Baca Juga: Waspada Potensi Bahaya Awan Panas Guguran Merapi di Selatan-Barat Daya
Rakyat Padarincang Berani Teriak
Grapas yang juga bagian dari Syarekat Perjuangan Rakyat Padarincang (Sapar), tetap kukuh menolak PLT Geotermal. Komitmen ini ditegaskan sebagai upaya melindungi lingkungan hidup, masyarakat, dan mempertahankan sumberdaya alam yang menjadi sumber kehidupan bagi masyarakat Padarincang.
“Hak-hak itu akan terus diperjuangkan. Suatu hari nanti, suara perempuan Padarincang mesti dipekikan di depan pintu istana. Mengingatkan penguasa, bahwa negeri ini dideklarasikan tahun 1945, memegang amanah dalam Pasal 33 Undang-Undang Dasar. Bumi, air, tanah dikuasai oleh negara untuk sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat,” kata Direktur Eksekutif Nasional Walhi, Zenzi Suhadi
Discussion about this post