Wanaloka.com – Kabupaten Gunungkidul merupakan salah satu daerah dengan jumlah populasi ternak yang cukup besar. Berdasarkan data Badan Pusat Stastistik (BPS), dalam kurun waktu 2018-2020 mencapai 150.000 ekor lebih. Namun, penyakit antraks menjadi ancaman nyata saat ini bagi kesehatan hewan ternak dan masyarakat Gunungkidul. Penyakit endemik di daerah dataran tinggi itu munculnya saban tahun yang diperparah sebuah tradisi yang bernama brandu.
Tradisi brandu adalah tradisi menyembelih hewan ternak sapi atau kambing yang sudah mati. Dagingnya dibagikan kepada warga, sementara warga harus membayar iuran untuk meringankan beban pemilik hewan yang ternaknya mati. Tradisi ini sudah ada sejak zaman dahulu.
“Biasanya iuran yang diberikan nominalnya tergantung harga sapi di pasaran dikurangi menjadi setengah atau sepertiga dan dibagi rata per kepala keluarga yang ada di dukuh tersebut. Kurun waktu pembayarannya biasanya selapan atau 35 hari,” kata ketua Tim Pekan Kreativitas Mahasiswa bidang Riset Sosial Humaniora (PKM-RSH) Brandu Universitas Gadjah Mada (UGM), Allama Rozan Firdaus dalam keterangan tertulis tertanggal 31 Juli 2024.
Baca Juga: Cuaca Jadi Ancaman Perkembangan Ekonomi Dunia 10 Tahun Mendatang
Tim PKM-RSH ini melakukan riset tentang tradisi brandu. Selain Allama, Tim riset brandu beranggotakan empat orang lainnya dengan prodi berbeda, yakni Luluk Kiesa Putri (Fakultas Kedokteran Hewan), Ratih Aulia Hasna (Fakultas Psikologi), serta Pamula Nur Kriswardhani dan Muhammad Hafidz Zidan (Fakultas Ilmu Budaya). Mereka di bawah bimbingan Dosen Antropologi Fakultas Ilmu Budaya UGM, Atik Triratnawati.
Menurut Allama, tradisi brandu ternyata membawa dampak bagi penularan dan penyebaran antraks di Gunungkidul. Sebab, hewan yang mati karena antraks, jika disembelih, maka spora antraks dapat keluar melalui darah bekas sembelihan. Padahal spora yang keluar dapat mencemari tanah di kawasan tersebut dan dapat bertahan hingga 80 tahun.
“Kondisi inilah yang menyebabkan antraks di Gunungkidul berulang kasusnya setiap tahun. Spora antraks yang mencemari lingkungan dapat menular ke manusia melalui konsumsi daging dan kulit yang luka,” ujar dia.
Baca Juga: Bencana Terorganisir di Halmahera, Habis Tambang Menggusur Hutan Terbitlah Banjir
Di sisi lain, terdapat banyak kesalahan persepsi warga mengenai penyebab hewan ternak yang mati mendadak tersebut. Menurut hasil riset tim lewat wawancara dengan warga, umumnya mayoritas warga mengira kematian sapi-sapi itu disebabkan keracunan daun singkong muda alias mendem. Padahal, kematian sapi mendadak juga dapat disebabkan oleh antraks.
“Karena tidak ada gejala yang mengacu ke antraks, warga mengira kematian disebabkan akibat mendem. Lalu warga menyembelih sapi tersebut untuk dibagi ke warga,” jelas dia.
Sejak kemunculan kembali wabah antraks di daerah tersebut pada tahun 2020, tercatat ada empat orang korban yang tewas. Beberapa di antara mereka yang terinfeksi wabah mengalami gejala awal seperti demam, muntah, dan munculnya bintik hitam di jari, tetapi juga ada yang tidak bergejala sama sekali. Selain terdapat korban manusia, masuknya wabah antraks di daerah tersebut juga menyebabkan tujuh ekor sapi dan satu ekor kambing mati.
Discussion about this post