Wanaloka.com – Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Nasional menengarai perhelatan “Tokyo GX Week” alias Tokyo Green Transformation Week yang digelar pemerintah Jepang hanya solusi palsu mengatasi emisi karbon. Meskipun acara yang digelar sejak 26 September 2022 itu mempromosikan berbagai teknologi seperti co-firing hidrogen dan amonia, teknologi penangkapan dan penyimpanan karbon (CCS), serta penggunaan Liquid Natural Gas (LNG).
“Co-firing hidrogen dan amonia pada pembangkit listrik termal itulah contoh utama solusi palsu itu,” kata Manajer Kampanye Tambang dan Energi Walhi, Fanny Tri Jambore dalam siaran pers tertanggal 26 September 2022.
Selain tidak menurunkan total emisi dari sektor energi, co-firing pada PLTU termal hanya akan memperpanjang umur infrastruktur bahan bakar energi fosil.
Baca Juga: Jepang Hentikan Pinjaman Proyek PLTU Indramayu, Walhi: Perbankan Juga Harus Hentikan Pendanaan
“Strategi GX pemerintah Jepang ini hanya menunda upaya dekarbonisasi,” imbuh Fanny.
Sementara strategi GX tengah didorong untuk diimplementasikan bukan hanya di Jepang. Melainkan juga di negara-negara berkembang di Asia. Pemerintah Jepang membahasakan upaya tersebut sebagai usaha mewujudkan masyarakat yang terdekarbonisasi.
Diakui Fanny, hidrogen dan amonia tidak menghasilkan emisi gas rumah kaca saat pembakaran di pembangkit listrik. Namun kedua bahan bakar itu tetap menghasilkan emisi gas rumah kaca yang besar selama produksi dan transportasinya. Metode produksi amonia komersial saat ini bersumber dari bahan bakar fosil, seperti gas. Meskipun dengan alat canggih, produksi satu ton amonia akan menghasilkan emisi sekitar 1,6 ton CO2. Sebagian besar produksi hidrogen juga berasal dari gas dan batubara. Artinya, penggunaan amonia dan hidrogen tidak bisa dianggap sebagai upaya dekarbonisasi.
Baca Juga: Indonesia-Jepang Kerja Sama Transisi Energi, Investasi akan Dipermudah
“Jadi upaya mengurangi emisi gas rumah kaca dengan co-firing hidrogen dan amonia di pembangkit listrik termal tidak memadai,” kata Fanny.
Bagaimana dengan di Indonesia?
Pemerintah Jepang tengah mendorong pemakaian hidrogen dan amonia, serta CCS/CCUS untuk mencapai “transisi energi yang realistis” di bekas negara jajahannya ini. Japan International Cooperation Agency (JICA) telah mengembangkan peta jalan untuk mencapai netralitas karbon pada 2060 bagi Indonesia.
Untuk mencapai peta jalan tersebut, telah diusulkan penggunaan amonia, hidrogen, dan LNG (dengan CCS) sebagai tiga bahan bakar utama, dengan memprioritaskan penggunaan co-firing amonia dan biomassa pada PLTU Batubara sebagai target jangka pendek. Sedangkan pemakaian hidrogen diharapkan akan menyumbang sebagian besar bauran energi listrik setelah 2051. Ironinya, korporasi-korporasi Jepang telah mengumumkan studi kelayakan untuk proyek-proyek semacam ini bisa dijalankan di Indonesia.
Baca Juga: Pemerintah Indonesia akan Pensiunkan PLTU, Tapi Ada yang Dikecualikan
Lantaran hidrogen, amonia, dan CCS tidak akan mengurangi emisi gas rumah kaca serta penuh dengan ketidakpastian pada efisiensi ekonomi maupun efektivitas teknologi, sehingga mempromosikan bahan bakar dan teknologi ini sebagai bagian dari transisi energi, menurut Fanny tidak lebih hanya pemanis alias solusi palsu.
“Jadi pemerintah Jepang harus segera menghentikannya. Upaya itu hanya akan memperpanjang umur PLTU batu bara,” tegas Fanny.
Sedangkan PLTU batu bara selama ini telah menimbulkan biaya lingkungan dan sosial bagi masyarakat terdampak. Tak terkecuali kerusakan kesehatan dan efek buruk pada mata pencaharian, seperti pertanian dan perikanan.
Discussion about this post