Wanaloka.com – Daerah Istimewa Yogyakarta menjadi salah satu daerah program prioritas dalam proyek pembangunan pengolahan sampah menjadi energi listrik (PSEL). Rencana pembangunan yang ditargetkan mulai beroperasi pada 2027 ini dinilai langkah cepat untuk mengatasi persoalan sampah yang kian menggunung.
Namun pakar Teknik Bioproses UGM Prof. Wiratni mengingatkan, bahwa keberhasilan proyek ini sangat bergantung pada kesiapan teknis dan perubahan perilaku masyarakat sebagai penghasil sampah.
Wiratni menekankan proyek pembangkit listrik tenaga sampah (PLTSa) akan menjadi proyek yang optimal apabila disertai pemilahan sampah yang baik. Sampah yang masuk ke fasilitas ini sebaiknya berupa sampah kering agar efisiensi termal terjaga dan peralatan tidak cepat rusak.
Baca juga: Pemerintah Siapkan Program Pengelolaan Sampah Menjadi Energi Listrik
“Jika sampah masih bercampur antara organik dan anorganik, proses akan merugi dan investasi berisiko sia-sia. PLTSa memang bisa dilengkapi dengan alat pengering, tetapi itu meningkatkan biaya operasional sekaligus menimbulkan bau yang mengganggu,” jelas Wiratni, Kamis, 2 Oktober 2025.
PLTSa sebaiknya tidak dijadikan satu-satunya andalan dalam penanganan sampah. Menurut dia, akar masalah sesungguhnya ada pada manusia selaku penghasil sampah.
“Proyek PLTSa ini sebenarnya merupakan proyek idealis dalam konteks energi terbarukan. Filosofinya sangat bagus, tetapi secara keekonomian tidak bisa bersaing dengan listrik konvensional. Jadi strategi pemanfaatan listrik perlu dibuat lebih inovatif,” papar Guru Besar Teknik Kimia itu.
Baca juga: Tren Kebencanaan Meningkat, Pakar Bahas Inovasi Pendanaan Bencana
Penjualan listrik ke PLN tidak cukup menjamin kelayakan ekonomi proyek. Perhitungan keekonomian PLTSa harus memperhitungkan biaya pembuangan sampah di fasilitas pengelolaan sampah yang realistis (tipping fee). Ia menekankan masyarakat perlu menyamakan persepsi bahwa pengelolaan sampah adalah industri jasa, bukan sekadar pelayanan. Dengan begitu, masyarakat sebagai penghasil sampah akan memiliki rasa tanggung jawab lebih besar untuk mengurangi sampah sejak dari sumber.
Wiratni juga menambahkan fraksi organik memang bisa dimanfaatkan sebagai bahan baku energi jika melalui proses pengeringan terlebih dahulu. Namun, karakter sampah organik yang mudah membusuk dan berbau membuat pengangkutannya dalam skala besar tidak efisien.







Discussion about this post