“Permasalahan sampah organik bukan soal bisa atau tidak menjadi energi, melainkan pada proses pengangkutan dari sumber ke lokasi pengolahan. Agar ekonomis, diperlukan skala besar, tetapi hal itu justru berpotensi menimbulkan masalah serupa dengan TPA Piyungan,” jelas dia.
Baca juga: KPA Desak Badan Pelaksana Reforma Agraria Nasional Langsung di Bawah Presiden
Untuk sampah organik direkomendasikan untuk tetap desentralisasi untuk semaksimal mungkin selesai di level rumah tangga atau komunal di lokasi yang tidak terlalu jauh dari sumbernya, dengan pengolahan yang realistis pada skala kecil, misalnya komposting atau maggot. Sampah organik basah juga tidak direkomendasikan untuk digunakan sebagai bahan baku energi terbarukan, terutama karena masalah pengangkutan dari sumber sampah ke titik pengolahan yang belum mampu menjamin tidak menimbulkan bau dan potensi penyakit di sepanjang perjalanan.
Seperti fasilitas berskala besar lainnya, PLTSa tentu juga memiliki risiko dampak lingkungan, terutama emisi gas hasil pembakaran dan residu abu yang berpotensi mengandung senyawa berbahaya. Namun, risiko ini dapat diminimalisir dengan teknologi yang tepat.
“Sudah banyak rambu-rambu untuk mencegah dampak negatif ini, misalnya mengacu pada ketentuan Kementerian Lingkungan Hidup tentang ambang batas kandungan senyawa-senyawa tersebut, memasang peralatan yang tepat, dan juga alat-alat ukur untuk monitoring,” ujarnya.
Baca juga: Pansus Reforma Agraria akan Bahas RUU Pertanahan hingga Digitalisasi Sertifikat Tanah
Langkah praktis, Wiratni merekomendasikan pemberlakuan mekanisme insentif dan disinsentif agar masyarakat terdorong memilah dan mengurangi sampah. Selain itu, pemerintah perlu memetakan sumber-sumber sampah serta ekosistem off-taker yang sudah ada, seperti bank sampah dan pelaku usaha daur ulang.
Dengan pemetaan itu, kapasitas PLTSa bisa difokuskan hanya pada sampah residu yang benar-benar tidak dapat diolah. Perhitungan keekonomian jangan hanya mengandalkan penjualan listrik ke PLN, tetapi harus disertai mekanisme tipping fee sebagai disinsentif.
“Jangan sampai PLTSa justru membutuhkan lebih banyak sampah, karena arah kita seharusnya menuju zero waste dengan ekosistem ekonomi sirkuler,” pungkas dia. [WLC02]
Sumber: UGM







Discussion about this post