Wanaloka.com – Rancangan Undang-Undang (RUU) Masyarakat Adat kembali masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2025 usai 15 tahun terombang-ambing di meja legislasi. Keputusan ini disambut baik para akademisi dan aktivis yang telah lama mengawal isu pengakuan dan perlindungan hak-hak masyarakat adat, termasuk Dosen Fakultas Hukum UGM sekaligus Peneliti Hukum Adat, Yance Arizona.
“RUU ini penting untuk memperkuat posisi masyarakat adat dalam kerangka hukum nasional,” kata Yance.
Pengesahan RUU ini mendesak untuk dilakukan. Ia berharap, momentum kali ini tidak kembali terbuang seperti periode-periode sebelumnya. Dengan masuknya RUU ini dalam Prolegnas Prioritas, publik berharap ada komitmen politik yang lebih konkret untuk menuntaskan legislasi yang telah tertunda terlalu lama. Mengingat Inisiatif RUU ini sudah muncul sejak 2010 dan baru masuk Prolegnas Prioritas sejak 2011.
Baca juga: GeoAI, Sistem Prediksi Suhu Permukaan Bumi untuk Adaptasi Iklim
“Kami perlu apresiasi bahwa DPR masih memperhatikan RUU ini, meskipun selama ini progresnya berjalan lambat,” imbuh dia.
Meski sudah lama dibahas, draf RUU yang ada dinilai belum memadai. Yance mencatat, RUU ini belum mampu menyelesaikan persoalan tumpang tindih regulasi yang kerap mempersulit pengakuan terhadap masyarakat adat.
Ia menyarankan pendekatan kodifikasi melalui metode omnibus sebagai alternatif, agar undang-undang sektoral yang beririsan dengan masyarakat adat dapat dihimpun dan diselaraskan. Sehingga menciptakan sistem hukum yang lebih koheren dan menghindari konflik antara peraturan yang saling bertabrakan. Tanpa reformulasi substansi, RUU ini berpotensi menjadi produk hukum yang lemah secara implementasi.
Baca juga: BMKG Catat 2024 Jadi Tahun Terpanas
Perlu peneguhan prinsip-prinsip penting, termasuk kemudahan untuk meregistrasi keberadaan masyarakat adat, legalitas tanah, serta prinsip Free, Prior and Informed Consent (FPIC) perlu ditegaskan dalam RUU ini. Prinsip-prinsip tersebut selaras dengan United Nations Declaration on the Rights of Indigenous Peoples (UNDRIP) yang telah disahkan sejak 2007 dan ditandatangani Indonesia.
Sayangnya, banyak ketentuan dalam UNDRIP belum terimplementasi secara konkret dalam regulasi nasional. RUU ini menjadi peluang strategis untuk menerjemahkan komitmen internasional ke dalam kebijakan hukum dalam negeri.
Meredam konflik hukum adat dan hukum negara
RUU Masyarakat Adat juga dinilai penting untuk meredam konflik antara hukum adat dan hukum negara. Saat ini, berbagai undang-undang sektoral seperti kehutanan, perkebunan, pertambangan, hingga pendidikan, telah mengatur masyarakat adat namun justru menimbulkan tumpang tindih dan ketidakpastian hukum.
Baca juga: Januari-April 2025, Pengaduan ke Ditjen Penegakan Hukum Kehutanan Capai 90 Kasus
Discussion about this post