“Psikoaktif artinya bisa memengaruhi psikis yang menyebabkan ketergantungan dan efeknya ke arah mental,” kata Zullies.
Kemudian senyawa lainnya adalah cannabidiol (CBD) yang memiliki aktivitas farmakologi, tetapi tidak bersifat psikoaktif. Salah satu efek CBD adalah anti kejang.
Baca Juga: Banjir Setinggi 30 Sentimeter, Ratusan Warga Morowali Mengungsi
Sejauh ini, menurut Zullies, CBD telah dikembangkan sebagai obat dan disetujui oleh Food and Drug Administration (FDA) di Amerika. Misalnya, epidiolex yang mengandung 100 mg/mL CBD dalam sirup. Obat ini diindikasikan untuk terapi tambahan pada kejang yang dijumpai pada penyakit Lennox-Gastaut Syndrome (LGS) atau Dravet syndrome (DS) yang sudah tidak meespons obat lain.
“Gejala kejang itulah yang akan dicoba diatasi dengan ganja pada cerebral palsy,” ucap Zullies.
Zullies menjelaskan CBD telah teruji klinis dapat mengatasi kejang. Namun untuk terapi antikejang yang dibutuhkan adalah CBD-nya, bukan keseluruhan dari tanaman ganja. Sebab, apabila masih berbetuk tanaman, ganja masih akan bercampur dengan THC. Kondisi ini akan menimbulkan berbagai efek samping pada mental.
Dan ganja bukanlah satu-satunya obat untuk mengatasi penyakit, termasuk cerebral palsy. Namun, masih ada obat lain yang dapat digunakan untuk mengatasi kejang.
“Ganja bisa jadi alternatif, tapi bukan pilihan pertama karena ada aspek lain yang harus dipertimbangkan. Namun jika sudah jadi senyawa murni seperti CBD, terukur dosisnya dan diawasi pengobatannya oleh dokter yang kompeten, itu tidak masalah,” papar Zullies. [WLC02]
Discussion about this post