Komunitas ini juga memperkenalkan teknologi ISLAH (Instalasi Sistem Lumbung Air Hujan), yakni sebuah teknologi tepat guna untuk pemanfaatan air hujan secara berkelanjutan sebagai solusi atas persoalan air bersih di Indonesia.
“Di Indonesia, hujan sering dianggap ancaman bencana, bukan sumber daya. Padahal dengan teknologi sederhana, air hujan bisa menjadi solusi atas krisis air bersih,” ujar Asisten Deputi Pengurangan Risiko Bencana Kementerian PMK, Andre Notohamijoyo dalam Event tahunan Peringatan Bulan Pengurangan Risiko Bencana (PRB) 2025 resmi digelar pada 1–3 Oktober 2025 di Mojokerto, Jawa Timur dalam siaran tertulis.
Baca juga: Mindful Consumption Mencegah Perilaku Menyisakan Makanan Menjadi Sampah
Acara ini menjadi ajang edukasi nasional terkait pengurangan risiko bencana yang diikuti berbagai instansi, komunitas, hingga masyarakat dari seluruh penjuru Indonesia. Selain itu, Kalaksa BPBD Papua Barat, Derek Ampnir juga menyampaikan kebutuhan mendesak akan edukasi air hujan di wilayahnya.
“Kami sangat membutuhkan kehadiran Sekolah Air Hujan di Papua Barat, agar air hujan bisa benar-benar dimanfaatkan sebagai kebutuhan dasar rumah tangga. Kami tahu pertanian, perkebunan, perikanan, peternakan membutuhkan air, jadi jangan sampai terjadi ke depan bener-bener mengalami krisis air global,” kata Derek.
Sebanyak 91 mahasiswa dan empat dosen dari Program Studi Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial (PIPS) Universitas Negeri Semarang (Unnes) melakukan kunjungan akademik ke Sekolah Air Hujan Banyu Bening di Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta, Rabu Oktober 2025. Kegiatan ini merupakan bagian dari agenda Kajian Fenomena Sosial I yang diselenggarakan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Unnes.
Baca juga: Serangan Hama Sebabkan Potensi Produk Pertanian Hilang Sebelum Dikonsumsi Capai 50 Persen
Pihak Sekolah Air Hujan memperkenalkan konsep “sekolah dari rakyat untuk rakyat”, yang berfokus pada edukasi dan praktik pemanfaatan air hujan sebagai sumber kehidupan serta simbol kearifan lokal masyarakat. Bahwa air hujan bisa menjadi berkah apabila manusia memperlakukannya dengan benar. Semua kembali pada niat, pengetahuan, dan kebiasaan masyarakat.
Mahasiswa diajak memahami bagaimana masyarakat dapat mengubah persepsi terhadap air hujan yang kerap dianggap kotor atau berbahaya, menjadi sumber air layak konsumsi dan simbol keberkahan.
Mereka juga ingin tahu seputar proses penjernihan air hujan, keamanan konsumsi air hujan jangka panjang, serta pandangan masyarakat sekitar terhadap praktik tersebut. Pihak Sekolah Air Hujan menjelaskan bahwa keberhasilan pemanfaatan air hujan tidak hanya bergantung pada teknologi, tetapi juga pada perubahan cara pandang masyarakat terhadap alam dan lingkungan.
Dari pihak kampus menyampaikan, bahwa kegiatan ini sejalan dengan visi “Kampus Konservasi”, yang berkomitmen menjaga kelestarian lingkungan melalui pembelajaran dan praktik sosial.
Baca juga: Catatan Kritis Walhi Satu Tahun Kebijakan Lingkungan Prabowo-Gibran: Kartu Merah!
“Kami ingin mahasiswa belajar langsung dari masyarakat yang berhasil mempraktikkan konservasi air dengan cara sederhana namun bermakna,” ujar salah satu dosen pendamping.
Mahasiswa yang hadir juga mengikuti sesi uji coba terapi air hujan yang menjadi ciri khas Sekolah Air Hujan Banyu Bening. Mereka diajak secara langsung untuk melihat proses penampungan, penyaringan, hingga pengujian kualitas air hujan menggunakan metode sederhana berbasis kearifan lokal.
Mereka juga berkesempatan mencicipi air hujan yang telah diolah serta melakukan simulasi penggunaan air hujan untuk kebutuhan harian, seperti mencuci tangan, berkumur, dan menyiram tanaman.
Melalui praktik tersebut, mereka belajar bahwa pelestarian lingkungan bisa dimulai dari langkah kecil dan sederhana di sekitar kita. Tidak hanya memperoleh wawasan ilmiah, mereka juga menambah pengalaman sosial dan ekologis yang menumbuhkan kesadaran akan pentingnya menjaga sumber daya air secara berkelanjutan. [WLC02]
Sumber: IPB University







Discussion about this post