Wanaloka.com – Hasil penelitian menunjukan sektor kelautan dan pesisir di Indonesia memiliki potensi kerugian ekonomi lebih dari Rp80 triliun per tahun akibat terdampak perubahan iklim. Angka nominal tersebut tertinggi dibandingkan sektor-sektor lainnya. Sementara sekitar 40 persen populasi dunia – termasuk 60 persen penduduk Indonesia – tinggal di wilayah pesisir. Artinya, wilayah zona dekat pantai dengan ketinggian kurang dari 100 meter dan jaraknya kurang 100 km dari pantai.
“Pesisir merupakan wilayah yang selayaknya diperhatikan seluruh pemerintah di dunia karena besarnya populasi dan tingginya kerentanan atas risiko bencana dan perubahan iklim,” kata Country Manager International Budget Partnership (IBP) Indonesia, Yuna Farhan dalam siaran pers tertulis Koalisi Masyarakat untuk Air & Sanitasi Berkeadilan dan Inklusif (Just-In WASH Coalition Indonesia) tertanggal 23 Mei 2024.
Sejak 2019 lalu, koalisi yang terdiri dari Kesatuan Perempuan Pesisir Indonesia (KPPI), Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI), Perkumpulan Inisiatif, Sekretariat Nasional Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Seknas FITRA) dan IBP mendorong pemerintah agar lebih memperhatikan permasalahan yang dialami masyarakat pesisir. Khususnya terkait kehidupan dan penghidupan nelayan kecil dan tradisional, termasuk akses atas air bersih dan sanitasi yang layak dan aman bagi perempuan pesisir di Indonesia.
Baca Juga: Koalisi Sipil Kecam Pembubaran PWF 2024, Bukti Keadilan Air Dibungkam
“Perempuan yang berdomisili di wilayah pesisir kekurangan akses terhadap air bersih dan sanitasi akibat sumber daya publik belum dikelola secara adil dan efektif,” imbuh Yuna.
Ketua Umum KNTI, Dani Setiawan menilai pembangunan air bersih dan sanitasi di Indonesia saat ini lebih berorientasi pemukiman perkotaan daripada wilayah pesisir. Di sisi lain, sekurangnya ada 1.800 km garis pantai di Indonesia berisiko tinggi terhadap ancaman kenaikan muka air laut dan abrasi yang berpotensi memberi dampak negatif terhadap sektor pemukiman, ekonomi, dan aset penghidupan masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil di Indonesia (Bappenas, 2018).
Dani menjelaskan lebih dari 8 juta perempuan dari 17,74 juta penduduk miskin (BPS, 2022) yang berdomisili di kawasan pesisir Indonesia rentan menderita gangguan kesehatan karena buruknya layanan air minum dan infrastruktur sanitasi di permukiman mereka. Antara lain penyakit kulit, diare, demam berdarah, malaria, dan TB paru. Gangguan kesehatan yang diderita perempuan pesisir berdampak pada kondisi kesehatan dan keluarga nelayan mengingat peran mereka sangat dominan dalam menyediakan akses atas air minum dan fasilitas sanitasi keluarga.
Baca Juga: Gempa di Selatan Jawa Malang Dipicu Aktivitas Dalam Lempeng Indo Australia
“Risiko itu diperparah dampak perubahan iklim yang mereka alami,” kata Dani.
KPPI dan Perkumpulan INISIATIF pada tahun 2023 melakukan survei pendataan keluarga nelayan tradisional di 26 kabupaten dan kota serta pemetaan partisipatif di lima wilayah pesisir, meliputi Kampung 05 Bagan Deli dan Kampung Nelayan Sebrang-Kota Medan, Kampung Dadap-Kabupaten Tangerang, Semarang Utara-Kota Semarang, Kwanyar-Kabupaten Bangkalan, dan Jerowaru-Kabupaten Lombok Timur.
Hasilnya menunjukkan akses atas air minum dan air bersih, fasilitas sanitasi, dan pengelolaan sampah di wilayah pesisir sangat memprihatinkan. Wilayah-wilayah tersebut juga mengalami kenaikan ketinggian muka air laut akibat dari dampak perubahan iklim.
Baca Juga: Bencana Lahar Sumbar, Data Terkini Korban Meninggal 61 Orang
“Wilayah desa pesisir tidak memiliki infrastruktur saluran air limbah domestik yang memadai, termasuk septic tank. Hasil pemetaan partisipatif menunjukan lebih dari 90 persen rumah tangga nelayan di Medan, Tangerang, dan Bangkalan tidak memiliki saluran pembuangan limbah rumah tangga dan saluran pembuangan air kotor serta membuang air limbah domestiknya langsung ke daratan terbuka, saluran drainase, sungai, maupun pantai atau laut,” ujar Sekretaris Jenderal Perkumpulan INISIATIF, Dadan Ramdan.
Dadan menambahkan, akses atas air minum merupakan masalah besar dan mahal yang dihadapi oleh keluarga nelayan. Hanya 11,9 persen rumah tangga di Medan yang mengaku mendapatkan air bersih dari PDAM. Sementara keluarga nelayan di daerah lain mengusahakannya secara mandiri. Seperti membeli air bersih yang menghabiskan rata-rata Rp250 ribu-Rp400 ribu setiap bulan. Di Lombok Timur, masyarakat pesisir harus bergantung pasokan air baku yang bersumber dari kabupaten lain dan sebagian besar diangkut dengan menggunakan truk tangki air.
Ketua Umum KPPI, Rosinah menegaskan perempuan memiliki peran sangat penting sekaligus sebagai penanggung jawab utama dalam keluarga dalam menyediakan air bersih, memelihara fasilitas sanitasi, serta mengelola sampah di lingkungan keluarga.
Baca Juga: World Water Forum 2024, Walhi Bali: Stop Proyek Merusak Subak
Discussion about this post