Wanaloka.com – Koalisi Masyarakat Sipil mengecam segala bentuk peretasan, ancaman, intimidasi dan pembubaran paksa yang dialami panitia pelaksana dan para peserta The People’s Water Forum (PWF) atau Forum Air Milik Rakyat Sedunia. Represi tersebut dilakukan sekelompok Ormas Patriot Garuda Nusantara (PGN) dengan dalih pengamanan di Institut Seni Indonesia, Bali, Senin, 20 Mei 2024.
“Padahal PWF 2024 adalah sebuah forum masyarakat sipil yang ditujukan sebagai ruang untuk mengkritisi privatisasi air, dan mendorong pengelolaan air untuk kesejahteraan rakyat,” kata Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Bali, Rezky Pratiwi dalam keterangan tertulis tertanggal 20 Mei 2024.
Berdasarkan informasi yang dihimpun Koalisi Masyarakat Sipil, panitia pelaksana telah mengalami berbagai intimidasi yang diduga untuk menghambat pelaksanaan PWF sejak 4 Mei 2024. Intimidasi tersebut bermula dari pihak kepolisian yang mendatangi salah satu rumah panitia nasional pelaksana, Direktur Yayasan Bintang Gana yang meminta PWF dibatalkan. Selain itu juga terjadi banyak peretasan WA dan tautan registrasi.
Baca Juga: Gempa di Selatan Jawa Malang Dipicu Aktivitas Dalam Lempeng Indo Australia
Pada hari pelaksanaan, Kelompok Ormas PGN berulang kali mendatangi tempat kegiatan dan meminta pelaksanaan PWF 2024. Mereka kemudian membubarkan karena dianggap melanggar imbauan lisan PJ Gubernur Bali terkait World Water Forum (WWF) di Bali.
“Perlu diketahui, himbauan tersebut tidak memiliki kekuatan hukum memaksa dan mengikat. Justru melanggar ketentuan konstitusi yang menjamin adanya kebebasan berkumpul, berekspresi, dan menyampaikan pendapat,” tegas Rezky.
Pembubaran dilakukan dengan melakukan perampasan banner, baliho, atribut agenda secara paksa, serta melakukan kekerasan fisik kepada beberapa peserta forum.
Baca Juga: Bencana Lahar Sumbar, Data Terkini Korban Meninggal 61 Orang
Menurut Rezky, keberulangan peristiwa serupa dalam momentum perhelatan forum internasional merupakan pelanggaran HAM yang dilanggengkan. Padahal konstitusi telah menjamin adanya kebebasan berkumpul, berbicara, dan menyampaikan pendapat. Fenomena ini makin membuktikan tidak ada komitmen negara untuk memajukan dan menghormati kebebasan berekspresi bagi rakyatnya, dengan dalih mengamankan investasi dari pemodal.
“Segala cara dilakukan agar tidak ada ‘gangguan’ yang tercipta dari luar,” kata Rezky.
Menurut Nurina Savitri dari Amnesty International Indonesia, yang terjadi di Bali ini seharusnya menjadi ukiran keras bagi pemerintah Indonesia sebagai anggota Dewan HAM PBB, bagaimana bisa forum masyarakat sipil dibubarkan dan (pembubaran) dibiarkan.
Baca Juga: World Water Forum 2024, Walhi Bali: Stop Proyek Merusak Subak
“Pertama, jika pembubaran ini benar-benar dilakukan karena alasan menghambat penyiaran konferensi internasional, ini patut kami tanyakan. Kedua, seharusnya hari ini kita merayakan 26 tahun Reformasi. Justru kita berkabung karena terjadi intimidasi terhadap kerja-kerja para Pembela HAM,” ucap Nurina.
Koalisi menilai berbagai kekerasan yang terjadi di PWF 2024 telah melanggar berbagai hak yang dijamin konstitusi. Meliputi hak atas rasa aman, hak atas kebebasan berkumpul dan kebebasan untuk mengemukakan pendapat. Hak-hak tersebut diatur dalam Pasal 28E ayat (3) dan Pasal 28G ayat (1) UU Dasar 1945, Pasal 23 dan Pasal 30 UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia serta Pasal 19 Kovenan Internasional Hak- Hak Sipil dan Politik.
“Kami mendapat informasi sekitar 8 orang yang terlibat dan tidak terlibat dalam kepanitiaan PWF mendapat upaya pengambilalihan akun WhatsApp. Pengabaian terhadap upaya intimidasi dan peretasan terhadap panitia dan orang-orang yang terlibat menunjukkan gelagat otoritarianisme digital yang dilakukan negara,” tukas Nenden dari SAFEnet.
Baca Juga: Penyuara Kerusakan Lingkungan Kembali Dibungkam, Trio Penjaga Hutan Mangrove Langkat Dibui
Selain isu, peretasan dan intimidasi, ormas juga menghalangi kerja jurnalis. Ketua AJI Indonesia Nani Afrida menekankan bahwa jurnalis harus diberikan ruang untuk melakukan kerja-kerja jurnalisme tanpa mendapatkan ancaman.
“Dalam melakukan pekerjaannya jurnalis dilindungi UU Pers Nomor 40 Tahun 1999. Jurnalis juga memiliki hak untuk mencari, memperoleh, menyebarkan gagasan dan informasi yang berguna bagi publik,” kata Nani.
Andrie dari KontraS juga menambahkan bahwa peristiwa Pembubaran Forum PWF 2024 juga telah menciderai prinsip kebebasan akademik yang diatur dalam Surabaya Principles on Academic Freedom (SPAF) 2017. Prinsip terkait tanggung jawab otoritas yang harus melindungi dan menghormati kebebasan akademik. Negara justru melakukan pelanggaran, baik dilakukan secara langsung (by commission ) maupun pembiaran (by omission).
Discussion about this post