“Sekitar 220 ribu perempuan dan anak di lima wilayah pesisir yang disurvei dan dipetakan rentan mengalami gangguan kesehatan akibat fasilitas sanitasi buruk serta rendahnya akses atas air bersih yang berkualitas,” kata dia.
Rosinah menyoroti perempuan dengan identitas berlapis adalah kelompok yang paling rentan mengalami masalah tersebut. Perempuan yang dimaksud adalah perempuan yang berasal dari keluarga nelayan miskin, lansia, perempuan buruh nelayan, perempuan penyandang disabilitas, perempuan nelayan kepala keluarga, korban kekerasan seksual, maupun anak perempuan korban pernikahan dibawah umur.
Kerentanan yang mereka alami antara lain disebabkan kemiskinan yang dialaminya, kurang tanggapnya pemerintah dalam merespon masalah dan kebutuhan mereka, perlakuan diskriminatif, rendahnya pengetahuan dan keterampilan, serta ketiadaan akses atas pengambilan keputusan maupun akses atas program-program pemerintah yang dapat digunakan untuk membantu meningkatkan kualitas hidup mereka.
Baca Juga: Penyuara Kerusakan Lingkungan Kembali Dibungkam, Trio Penjaga Hutan Mangrove Langkat Dibui
Studi yang dilakukan Seknas FITRA terkait kebijakan dan anggaran air minum dan sanitasi di wilayah pesisir di lima kabupaten dan kota menunjukkan kualitas layanan air minum dan fasilitas sanitasi rendah memiliki relevansi dengan tata kelola anggaran yang tidak mempertimbangkan kebutuhan perempuan miskin dan karakteristik wilayah pesisir.
Ada tiga poin yang menjadi parameter untuk melihat kondisi tersebut. Pertama, perencanaan anggaran yang belum sensitif gender. Kedua, alokasi anggaran tidak mencukupi. Ketiga, belanja anggaran tidak tepat sasaran.
“Kredibilitas anggaran untuk sektor air minum dan sanitasi terutama di daerah sangatlah rendah,” kata Wakil Sekretaris Jenderal FITRA, Ervyn Kaffah.
Baca Juga: Mitigasi Dampak Kenaikan Status Gunung Ibu Menjadi Awas
Menurut dia, selama kurun waktu 1999-2022, rata-rata realisasi anggaran pemerintah daerah di 5 kabupaten kota wilayah studi untuk sektor air minum, sanitasi, dan pengelolaan sampah berkisar antara 10-34 persen dari total anggaran yang direncanakan. Rendahnya serapan anggaran tersebut antara lain karena keterlambatan proses pengadaan barang dan jasa. Selain itu, studi ini juga menemukan alokasi anggaran untuk sektor tersebut sebagian besar digunakan untuk belanja gaji dan operasional aparatur pemerintah.
Siaran pers tersebut disampaikan bertepatan Indonesia tengah menjadi tuan rumah penyelenggaraan the World Water Forum (WWF) ke-10 di Nusa Dua Bali pada tanggal 18-25 Mei 2024. WWF 2024 ini mengusung tema “Water for Shared Prosperity” (Air untuk Kemakmuran Bersama). Dalam sambutannya, Presiden Indonesia, Joko Widodo menekankan kerja sama antar negara penting untuk mempromosikan pengelolaan sumber daya air yang efisien dan terintegrasi, serta digunakan untuk kemakmuran bersama. Jokowi menekankan beberapa agenda penting yang harus diprioritaskan, antara lain upaya konservasi air, ketersediaan air bersih dan sanitasi, ketahanan pangan dan energi, serta mitigasi bencana alam seperti banjir dan kekeringan.
Menurut Yuna, persoalan-persoalan tersebut dapat diatasi dengan adanya sistem tata kelola sumber daya publik yang inklusif, adil, dan menjamin akses atas air minum dan fasilitas sanitasi yang layak dan aman bagi perempuan miskin pesisir serta memiliki ketahanan terhadap dampak perubahan iklim. Tata kelola anggaran dan layanan air minum dan sanitasi harus mempertimbangkan karakteristik wilayah pesisir dan memprioritaskan kebutuhan perempuan miskin melalui pendekatan yang terintegrasi dan pengelolaan anggaran yang kredibel.
Baca Juga: Percepat Masa Darurat ke Pemulihan Pasca Bencana Alam Sumatera Barat
“Termasuk penyelesaian secara tepat atas berbagai persoalan mendasar yang dialami masyarakat pesisir, seperti masalah status pertanahan dan administrasi kependudukan sebagai bentuk pengakuan negara atas keberadaan mereka,” ucap Yuna.
Berdasarkan uraian tersebut, Just-In WASH Coalition Indonesia mengajukan tiga meminta kepada Pemerintah. Pertama, mengembangkan kebijakan air bersih dan sanitasi yang berorientasi wilayah pesisir dan memprioritaskan pemenuhan air bersih dan sanitasi yang layak dan aman bagi perempuan anak-anak di wilayah pesisir Indonesia.
Kedua, melakukan mainstreaming gender dalam perencanaan dan penganggaran air bersih dan sanitasi serta memperbaiki pengendalian belanja pemerintah untuk meningkatkan kredibilitas anggaran.
Ketiga, memastikan keterlibatan kelompok rentan di wilayah pesisir seperti perempuan dan nelayan skala kecil dalam perencanaan penganggaran sektor sanitasi dan air bersih di wilayah pesisir. [WLC02]
Discussion about this post