Wanaloka.com – Kementerian Perdagangan (Kemendag) dan Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian (Kemenko) berencana menderegulasi 441 kode HS di sektor kehutanan. Termasuk menjadikan dokumen V-Legal opsional bagi pasar selain Uni Eropa (UE) dan Inggris serta mencabut kewajiban Uji Tuntas dan Deklarasi Impor untuk produk kayu.
Usulan deregulasi ini dibingkai sebagai respon atas tarif impor dari Amerika Serikat dan upaya peningkatan daya saing ekspor. Dalam siaran pers yang diterima Wanaloka.com, Sabtu, 24 Mei 2025, sejumlah organisasi masyarakat sipil, aktivis lingkungan, akademisi, dan praktisi kehutanan seperti Kaoem Telapak, Walhi, WWF, Auriga, Kontras Tanah Papua dan lainnya berpendapat, langkah relaksasi kewajiban penjamin legalitas dan kelestarian produk kayu tersebut bukanlah pilihan yang tepat.
Langkah relaksasi kewajiban penjaminan legalitas dan kelestarian produk kayu dinilai bukanlah pilihan yang tepat. Mereka meyakini langkah ini akan memiliki konsekuensi ekonomi yang signifikan.
Baca juga: Rumah Rusak Akibat Gempa Bengkulu Bertambah Jadi 255 Unit
Mereka meyakini langkah ini akan memiliki konsekuensi ekonomi yang signifikan, termasuk:
Pertama, Hilangnya kepercayaan pasar dan peluang ekspor. Pasar global menjadi semakin selektif, dengan pembeli dan konsumen menuntut jaminan keberlanjutan dan legalitas yang ketat. Sistem Verifikasi Legalitas dan Kelestarian (SVLK) yang diterapkan Indonesia secara konsisten sejak 2010 telah berhasil meningkatkan reputasi Indonesia sebagai pemasok terpercaya produk kayu yang bersumber legal dan berkelanjutan dengan nilai ekspor mencapai 14,51 miliar dolar AS pada 2022. Pelemahan sistem SVLK akan menciptakan keraguan di antara pembeli internasional, membahayakan pangsa pasar Indonesia saat ini dan masa depan.
Kedua, Menurunnya daya saing di pasar global. Perdagangan kayu global bergerak menuju standar kepatuhan dan keberlanjutan yang lebih ketat. Para pesaing seperti Vietnam dan Malaysia berinvestasi besar-besaran dalam sistem legalitas dan sertifikasi yang kuat. Pelemahan SVLK berisiko menurunkan kayu Indonesia ke pasar bernilai rendah, sehingga menghambat daya saing internasional.
Baca juga: Gunung Lewotobi Laki-Laki Awas Lagi, Lokasi Relokasi Ditetapkan di Noboleto
Ketiga, Risiko terhadap negosiasi dan tarif perdagangan. Melemahnya komitmen Indonesia terhadap perdagangan kayu legal dan berkelanjutan mengirimkan sinyal yang kontradiktif kepada mitra dagang. Hal ini dapat merusak kredibilitas Indonesia dalam mematuhi perjanjian internasional, seperti Perjanjian Kemitraan Sukarela (VPA) dengan UE dan Inggris, yang berpotensi mengakibatkan sanksi.
Keempat, Dampak negatif pada usaha kecil dan menengah (UKM). Sistem yang terfragmentasi dengan produk kayu bersertifikat dan tidak bersertifikat akan menciptakan kebingungan dan meningkatkan biaya kepatuhan. UKM akan kesulitan mengakses pasar internasional yang menuntut dokumentasi legalitas, sehingga mengurangi peluang pendapatan mereka.
Kelima, Kerugian pendapatan jangka Panjang. Melemahnya sistem SVLK akan membuka pintu bagi peningkatan penebangan liar dan praktik yang tidak berkelanjutan, sehingga menurunkan kemampuan sektor kehutanan untuk mendukung ekonomi nasional dalam jangka panjang.
Baca juga: Gempa Bumi M6,3 Guncang Bengkulu, 34 Unit Bangunan Rusak
Discussion about this post