“Ini menunjukkan negara masih menerjemahkan hak menguasai negara secara eksesif,” tukas Kasmita.
Padahal sejumlah putusan Mahkamah Konstitusi (MK) telah menyatakan, bahwa Hak Menguasai Negara (HMN) dibatasi oleh hak ulayat. Kebijakan negara menerbitkan HPL diatas wilayah adat justru berpotensi menyebabkan hak masyarakat adat atas tanah ulayat yg telah dimiliki, dikuasai dan dikelola secara turun-temurun, hilang. Sekaligus menabrak esensi perlindungan dan penghormatan hak-hak masyarakat adat yang telah diatur di dalam konstitusi.
Kepala Divisi Data dan Informasi BRWA, Ariya Dwi Cahya menambahkan, berdasarkan analisis tutupan hutan di 1.336 wilayah adat, BRWA mengidentifikasi ada sekitar 12,9 hektare berupa hutan primer dan 5,37 juta hektare hutan sekunder. Pada areal hutan sekunder sudah cukup banyak dikelola badan usaha yang mendapat Perijinan Berusaha Pemanfaatan Hutan (PBPH) dari Pemerintah.
Baca Juga: Robot Bawah Laut IPB Pantau Tutupan Teritip
Perlu Kesungguhan Pemerintah
Pada peringatan Hari Internasional Masyarakat Adat Sedunia 2023, Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) mengusung tema “Indigenous Youth as Agents of Change for Self-Determination” atau “Pemuda Adat sebagai Agen Perubahan untuk Penentuan Nasib Sendiri”. Tema tersebut menunjukkan kembali peran yang harus diambil pemuda adat dalam pengambilan keputusan. Serta upaya dedikasi mereka dalam aksi iklim, pencarian keadilan, dan terciptanya hubungan antar generasi yang menjaga budaya dan tradisi mereka.
Dalam konteks advokasi pengakuan masyarakat adat dan wilayah adat di Indonesia, peran pemuda adat sangat strategis dalam pemetaan wilayah adat, advokasi kebijakan serta penerus pengelolaan wilayah adat berdasarkan budaya dan tradisi kearifan masyarakat adat. Sementara kondisi masyarakat adat masih termarginalisasi di wilayah adatnya karena pengakuan dan perlindungan wilayah adat masih jauh dari harapan masyarakat adat.
Dari berbagai data profil masyarakata adat yang terhimpun di BRWA, masyarakat adat memiliki relasi yang kuat dengan hutan sebagai bagian dari budaya dan ruang hidupnya. Kekuatan masyarakat adat dalam menjaga hutan berdasar tradisi dan budaya menjadi benteng terakhir penyelamatan hutan yang tersisa, pemulihan degradasi hutan dari kepentingan bisnis, menekan laju perubahan iklim dan penyelamatan keanaragaman hayati.
Baca Juga: Nafiatul Umami Kembangkan Mutasi Rumput Gajah Lokal Berbiomassa Tinggi
Pemutusan hubungan masyarakat adat dengan hutan dan tanah leluhurnya karena kepentingan bisnis yang dikelola pemerintah atau diberikan pemerintah kepada badan-badan swasta akan memutus hubungan lintas generasi para pemuda adat dalam menjaga tradisi, budaya dan jati diri bangsa Indonesia.
Menurut Kasmita, perlu kesungguhan pemerintah daerah dan Kementerian/lembaga Pemerintah untuk menjalankan pengakuan dan perlindungan hak-hak masyarakat adat di Indonesia.
“Kesungguhan itu dapat dilakukan melalui Pengesahan RUU Masyarakata Adat dan pengalokasian anggaran yang memadai dalam proses pengakuan masyarakat adat melalui anggaran pemerintah pusat dan daerah,” tegas Kasmita. [WLC02]
Discussion about this post