Basuki juga menyinggung di berbagai kota besar di Indonesia bermunculan bangunan bertingkat yang diharuskan menggunakan konstruksi bangunan tahan gempa. Termasuk pembangunan asrama mahasiswa hingga pembangunan Rumah Instan Sederhana dan Sehat (RISHA) sebagai perwujudan sebuah rumah dengan desain modular. Artinya, dapat diubah atau dikembangkan sesuai dengan keinginan penghuninya. Rumah sederhana tersebut dibangun dengan cepat dan memiliki kemampuan tahan gempa.
Baca Juga: Ini Gedung 19 Lantai Rancangan FTUI yang Tahan Gempa 5,5 SR
Dalam kesempatan itu, Basuki menilai desain bangunan dan infrastruktur tahan gempa selalu mengalami perkembangan sehingga perlu sinergi antara pemerintah dengan para peneliti di kampus.
“Saya melihat perlu ada harmoni dan sinergi antara riset teknik rekayasa gempa, pihak industri dan pemerintah untuk mendukung kegiatan mitigasi kegempaan baik di Indonesia dan negara lainnya,” imbuh Basuki.
Prof. Jonathan Bray dari Universitas California Amerika Serikat menuturkan tingkat kerusakan bangunan saat terjadi gempa dipengaruhi kekakuan material tanah di permukaan, kondisi batuan keras sampai lunak, kedalaman batuan dasar untuk rasio impedansi.
Baca Juga: UII Nilai Pelantikan Hakim MK Inkonstitusional, Mensesneg: Sudah Keputusan DPR
“Kekakuan dan redaman material nonlinier berpengaruh pada regangan geser dengan intensitas goncangan,” jelas Jonathan.
Sedangkan Prof. Koichi Kusunoki dari Universitas Tokyo Jepang menjelaskan upaya pengurangan risiko dan peningkatan ketangguhan masyarakat dalam menghadapi bencana dapat dilakukan dengan mengurangi tingkat kerusakan melalui desain rumah dan bangunan tahan gempa, kemampuan pemerintah dalam menyelidiki tingkat kerusakan dengan cepat dan kemampuan merekonstruksi dengan cepat. [WLC02]
Sumber: UGM
Discussion about this post