Wanaloka.com – Presiden Joko Widodo telah melantik Hakim Mahkamah Konstitusi Guntur Hamzah di Istana Negara di Jakarta pada 23 November 2023. Guntur adalah hakim MK yang diusulkan DPR untuk menggantikan hakim MK Aswanto yang dicopot DPR karena dinilai tak mendukung produk hukum usulan DPR. Pencopotan Aswanto maupun pelantikan Guntur dinilai kontroversial karena bertentangan dengan UU Nomor 7 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga Atas UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.
“Presiden Jokowi segera menganulir pelantikan Guntur Hamzah menjadi Hakim MK karena prosesnya konstitusional,” kata Direktur Pusat Studi Hukum Konstitusi (PSHK) Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (FH UII), Dian Kus Pratiwi dalam siaran pers tertanggal 23 November 2022.
Dian pun membeberkan rentetan proses inkonstitusional yang dimaksud. Bahwa nama Guntur Hamzah diusulkan DPR secara tertutup yang hanya melibatkan internal DPR. Proses ini telah melanggar Pasal 20 ayat (2) UU MK yang mengamanatkan proses pemilihan hakim konstitusi dilakukan melalui proses seleksi yang objektif, akuntabel, transparan, dan terbuka.
Baca Juga: Update Data Korban Gempa Cianjur, Distribusi Bantuan Melalui Posko
Terlebih, proses pengusulan Guntur Hamzah didahului dengan pemberhentian Aswanto dari jabatan hakim konstitusi. Pemberhentian itu juga melanggar Pasal 23 ayat 4 UU MK, yang menyatakan pemberhentian hakim hanya bisa dilakukan dengan Keputusan Presiden atas permintaan dari Ketua MK. DPR tidak berhak dan tidak mempunyai kewenangan untuk mengusulkan pemberhentian hakim MK.
“Tindakan pelampauan kewenangan oleh DPR dapat dikategorikan sebagai bentuk intervensi DPR terhadap kekuasaan kehakiman,” tegas Dian.
Tindakan DPR juga melanggar Pasal 24 ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan MK bersifat merdeka dan independen. Artinya, MK tidak ada hubungan dan bukan merupakan bagian dari DPR.
Baca Juga: BMKG, Gempa Susulan di Cianjur akan Melandai Empat Hari Pasca Gempa
“Jadi pelantikan Guntur Hamzah cacat dari proses usulan oleh DPR,” kata Dosen Hukum Tata Negera FH UII itu.
Selain itu, proses pemberhentian dan pengusulan yang berakhir pada pelantikan hakim konstitusi yang inkonstitusional tersebut, menurut Dian, apabila diteruskan dapat menjadi preseden buruk dalam penyelenggaraan kekuasaan kehakiman dan penyelenggaraan praktik ketatanegaraan.
“Bahkan dapat terjadi pembangkangan terhadap amanat reformasi dari yang seharusnya menyelenggarakan rule of law bergeser menjadi rule by man or politics,” papar Dian.
Baca Juga: Pencarian 151 Korban Hilang Gempa Cianjur Fokus di 4 Sektor Ini
Discussion about this post