Kearifan lokal dan pengetahuan modern
Sementara di tengah laju deforestasi akibat dampak pembukaan lahan perkebunan kelapa sawit, pembalakan liar hingga alih fungsi lahan, konservasi menjadi salah satu strategi agar hutan tetap lestari untuk menjaga ketersediaan sumber daya alam dan melindungi keanekaragaman hayati.
Baca juga: Komisi XIII DPR Soroti Dugaan Pelanggaran HAM terhadap Masyarakat Adat Tapanuli Raya
Namun sebaiknya program konservasi hutan tidak hanya menggunakan perspektif teknologi dan inovasi modern. Melainkan juga perlu menggunakan pendekatan kearifan lokal terutama masyarakat adat yang masih memegang tradisi lama dalam menjaga keseimbangan alam.
Tokoh adat dari Desa Tamblingan, Bali, Putu Ardana mengatakan upaya konservasi yang paling efektif justru berasal dari hasil yang sudah dipraktikkan masyarakat adat sejak lama. Masyarakat adat merupakan satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan dari bentang alamnya.
“Interaksi antara komunitas dan lingkungan diatur dalam sebuah sistem sosial sehingga membentuk Eco-socio-System,” jelas Putu Ardana dalam seminar “Merajut Pengetahuan Tradisional dan Modern untuk Konservasi Berkelanjutan dalam Pencapaian Target IBSAP 2025-2045”di ruang Auditorium Fakultas Kehutanan UGM, Kamis, 11 September 2025.
Baca juga: Hujan Lebat dan Angin Kencang Mengintai 12-18 September 2025
Kaweng, demikian sapaan akrabnya, memberikan contoh sebuah ritual adat sebenarnya juga bisa berfungsi sebagai sensus ekologi. Dalam sebuah ritual adat di Tamblingan terdapat sarana yang perlu dipenuhi. Salah satunya adanya tanaman hutan.
“Jika tanaman tersebut tidak ditemukan, ritual tidak bisa dilaksanakan, sehingga kami harus menanamnya. Apa yang kini dikenal sebagai konservasi, sejak dahulu kala, kami sebut sebagai ritual,” kata mantan Aktivis Gelanggang UGM ini.
Sementara Dosen Fakultas Kehutanan UGM Dwiko Budi Permadi, memaparkan peran penting perguruan tinggi sebagai motor inovasi dan teknologi, membangun kemitraan advokasi, dan regenerasi. Menurut dia, perguruan tinggi bisa berperan menjembatani pengetahuan yang dihasilkan secara bersama baik dari sisi scientific knowledge dan local knowledge.
Baca juga: Tukad Meluap Semalam di Bali, 16 Warga Tewas dan 552 Warga Mengungsi
“Bukan hanya transfer ilmu dari ilmuwan ke masyarakat, melainkan pertukaran, penggabungan, dan penciptaan pengetahuan baru yang mengintegrasikan keduanya sehingga menghasilkan solusi yang relevan dan berkelanjutan,” jelas dia.
Direktur Konservasi Kawasan, Kementerian Kehutanan, Sapto Aji Prabowo menegaskan konservasi hutan saat ini memerlukan pendekatan kolaboratif dan integratif dengan dukungan dari pemangku kepentingan. Terutama perguruan tinggi, dunia usaha, pemerintah daerah, LSM, media, mitra pembangunan, dan seluruh elemen masyarakat. [WLC02]
Sumber: Kementerian Kehutanan, UGM







Discussion about this post