Wanaloka.com – Di tengah peningkatan ketegangan antara pembangunan dan keberlanjutan, serta antara eksploitasi dan hak-hak masyarakat pesisir, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) meluncurkan Buku berjudul “Merampas Laut, Merampas Hidup Nelayan”. Buku ini mendokumentasikan dan mengkritisi praktik perampasan ruang laut dan pesisir yang kian mengancam kehidupan nelayan dan masyarakat pesisir.
Isinya menampilkan suara-suara dari lapangan, cerita tentang hilangnya akses nelayan terhadap laut sebagai sumber penghidupan, dan bagaimana ketidakadilan kerap luput dari narasi besar pembangunan nasional yang didengar langsung melalui riset akademik.
“Buku ini memberikan refleksi mendalam dan jujur atas praktik coastal and marine grabbing, perampasan wilayah pesisir dan laut oleh kekuatan besar yang sering kali dilegitimasi oleh kebijakan negara,” kata Plt. Kepala Organisasi Riset Ilmu Pengetahuan Sosial dan Humaniora BRIN, Yan Riato dalam peluncuran buku di BRIN Kawasan Sains Sarwono Prawirohardjo, Jakarta, Kamis, 15 Mei 2025.
Baca juga: Irfan Syauqi Beik, Paradigma Green Zakat Menjadi Mitigasi Perubahan Iklim
Yan menyampaikan beberapa kasus yang diangkat, antara lain pagar laut di Tangerang yang menutup akses nelayan dan memunculkan skandal sertifikasi lahan di atas air. Kemudian eksploitasi wilayah nomadik orang laut di Kepulauan Riau akibat tambang pasir, hingga penggusuran warga miskin kota lewat proyek reklamasi teluk Manila di Filipina.
“Praktik-praktik tersebut menggambarkan pola perebutan ruang hidup yang mengorbankan masyarakat pesisir dan mengancam keberlanjutan ekologis,” kata dia.
Coastal grabbing dalam konteks ini bukan hanya soal legalitas atau izin. Namun mencerminkan bentuk baru ketimpangan struktural yang menghimpit kelompok rentan atas nama investasi dan pertumbuhan ekonomi.
Baca juga: Riset BRIN, Perubahan Iklim Picu Penyebaran Penyakit TB, Stroke hingga Infeksi Menular karena Air
Lebih jauh, Yan menyampaikan buku ini menyoroti berbagai bentuk perlawanan masyarakat, seperti Komunitas ForBALI yang sukses menggagalkan proyek reklamasi Teluk Benoa. Juga warga Pulau Pari yang memperjuangkan ruang hidup mereka lewat jalur hukum dan pengorganisasian komunitas.
“Buku ini menampilkan praktik-praktik alternatif dari komunitas di Wakatobi dan Mentawai dalam mengelola pesisir secara lestari dan adil secara sosial,” imbuh dia.
Dalam konteks riset, buku ini menggunakan dua pendekatan utama. Pertama, ketahanan sosial dan ekologis di wilayah pesisir, melalui riset berbasis komunitas dalam merespons tekanan pembangunan dan krisis lingkungan. Kedua, inklusi dan keadilan sosial, dengan menekankan pentingnya menjamin hak atas ruang bagi nelayan kecil dan masyarakat adat pesisir.
Baca juga: Rekomendasi Pakar Sosioagraria, Kebijakan PSN Pulau Rempang Harus Dievaluasi Total
Antropolog Maritim BRIN sekaligus editor buku tersebut, Dedi S. Adhuri menjelaskan peluncuran buku ini memiliki relevansi sangat kuat. Khususnya di tengah maraknya praktik perampasan ruang laut (marine grabbing) di Indonesia yang meminggirkan hak-hak masyarakat pesisir.
“Dedi menyampaikan buku ini lahir dari kegelisahan kolektif terhadap isu-isu marginalisasi komunitas pesisir dan nelayan,” kata Dedi.
Termasuk kelompok etnis maritim, seperti Bajo, Buton, dan Bugis, yang orientasi hidupnya sangat terkait dengan wilayah pesisir dan laut.
Baca juga: Mempercantik Sudut-sudut Kota Bandung dengan Mural Warna Warni
Discussion about this post