Wanaloka.com – Kenapa Bumi semakin rusak? Demikian pertanyaan besar yang menjadi sorotan dalam talkshow lingkungan bertema “Peran Ormas Keagamaan dalam Memperjuangkan Kelestarian Lingkungan” di Kampung Mataraman, Bantul, DI Yogyakarta, Ahad, 27 Oktober 2024.
“Karena kehidupan manusia semakin jauh dari agama. Kita sering menganggap bahwa ibadah kita tidak ada urusannya dengan urusan lingkungan,” kata Staf Pengajar Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Sunan Kudus, Zaimatus Sa’diyah yang mendalami ilmu “Religion and Ecologi” dalam acara yang digelar PW Fatayat NU, PW IPNU dan PW IPPNU DIY untuk memperingati Hari Santri Nasional 2024 itu.
Ia mengutip kitab dari Syaikh Ali Jum’ah yang memberikan statemen tentang relasi lingkungan dan manusia. Pertama, relasi dasar al-musawah (kesetaraan), yaitu manusia dengan alam sama-sama makhluk Tuhan yang dituntut untuk tunduk dan menyembah-Nya.
Baca Juga: Zulfiadi Zulhan, Produksi Logam Tanpa Jejak Karbon Lewat Reaktor Plasma Hidrogen
“Meskipun manusia terkadang sering membangkang dengan aturan tersebut karena kezalimannya,” ucap Zaimatus dalam siaran tertulis yang diterima Wanaloka.com, 27 Oktober 2024.
Kedua, relasi medium, yaitu menganggap bumi ini adalah media bagi manusia untuk bertafakur atas kegungan dan ke-Maha Besar-an Allah SWT.
Ketiga, relasi tertinggi yaitu manusia menganggap bahwa mencintai Bumi berarti mencintai Allah SWT.
Baca Juga: Pelibatan Petani Lokal dan Petani Muda Jadi Kunci Keberhasilan Food Estate?
Artinya, dalam konsepsi antara manusia dan alam (lingkungan) adalah bersifat simbiosis-mutualisme. Keduanya saling membutuhkan satu sama lain.
“Jadi tidak dibenarkan manusia mengeksploitasi seenaknya demi meraup keuntungan yang sebesar-besarnya dengan dalih memakmurkan alam atau lingkungan,” ucap Zaimatus.
Perempuan paling terdampak
Senyampang dengan penjelasan dalam buku “Fiqih Energi Terbarukan”, bahwa dampak perubahan iklim yang dirasakan setiap orang akan berbeda. Namun 5-10 tahun lagi akan semakin terasa. Saat ini banyak antibiotik tidak manjur lagi karena mikroba sudah beradaptasi dampak perubahan iklim. Padahal mengembangkan antibiotik butuh belasan tahun, sementara bakteri dan virusnya sudah makan korban ribuan manusia.
Baca Juga: Food Estate Terbukti Gagal dan Rugikan Petani, Koalisi Sipil Tuntut Hentikan
Dan menurut riset yang dilakukan oleh para ahli lingkungan di dunia dalam Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) yang tertulis dalam 3000 halaman mengatakan bahwa perubahan iklim yang terjadi karena ulah manusia.
“Bukan alami karena bumi yang sudah tua. Pada saat itu orang akan sadar apakah masih menggunakan bahan bakar yang berasal dari fosil atau beralih menggunakan energi terbarukan,” kata salah satu anggota tim penulisnya, Ahmad Rahma Wardhana.
Staf Pengajar Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) yang mendalami ilmu Global Gender Studies, Yuyun Sriwahyuni menambahkan, dalam segitiga gunung es kerusakan lingkungan, perempuan merupakan siklus yang paling dekat dampaknya.
Baca Juga: Kementerian ESDM akan Genjot Lifting Minyak untuk Swasembada Energi
“Karena kerja domestik lebih banyak dilakukan perempuan,” kata Yuyun.
Ia mencontohkan, air yang terkontaminasi limbah batu bara di Kalimantan masuk ke rumah-rumah. Perempuan lebih banyak membutuhkan air bersih. Mengingat upaya mencegah penyakit yang ditimbulkan dari mutase genetik merupakan tugas perempuan. Kemudian, perempuan juga yang paling berdekatan dengan sampah di rumah.
Discussion about this post