Masih terkait konteks tersebut, Lilik menambahkan perlu adanya mitigasi kultural dimana masyarakat diajak mengetahui langkah-langkah apabila gempa bumi terjadi, misalnya cara evakuasi, titik kumpul hingga simulasi atau latihan kesiapsiagaan.
Selanjutnya, kejadian bencana pada 2021 ini tidak terlepas dari faktor alih fungsi peruntukan lahan. Menurut Lilik, permasalahn tata ruang, khususnya yang berbasis mitigasi risiko ini sesuatu yang mudah diucapkan tetapi pada tahapan implementasi masih menjadi tantangan, khususnya penekanan pada konteks penanggulangan bencana. Oleh karenanya, ia meminta peran dari masyarakat dalam kontrol sosial di lapangan.
Di samping itu, catatan mengenai pemulihan daya dukung lingkungan juga harus dilakukan secara optimal. Kejadian hidrometeorologi basah pada tahun ini diperparah oleh menurunnya daya dukung lingkungan. Perubahan lansekap secara masif terlihat yang pada gilirannya menyebabkan degradasi lingkungan pada sisi hulu dan sepanjang aliran sungai. BNPB melihat perlu adanya upaya mempertahankan Kawasan lingkungan dan ekosistem yang sangat penting dalam mengurangi potensi banjir, khususnya pada DAS panjang yang perbedaan elevasi rendah.
Restorasi ekosistem ini menjadi jawaban untuk solusi jangka panjang.
Catatan terakhir mengenai bencana erupsi Semeru pada awal Desember lalu, BNPB melihat kembali peringatan dini kegunungapian yang perlu dikoordinasikan dan disempurnakan dengan lebih terintegrasi, khususnya untuk perintah evakuasi di saat kontinjensi dan darurat. Penyesuaian level aktivitas gunung api yang tidak hanya berpatokan pada aktivitas erupsi tetapi juga aktivitas vulkanik lain, seperti awan panas guguran yang mengancam keselamatan masyarakat.
BNPB menyebutkan kejadian bencana alam di tahun 2021 lebih rendah atau turun 33,5 persen dibanding jumlah kejadian bencana alam pada 2020 yang mencapai 4.649.
Tetapi, jumlah korban meninggal dunia dampak bencana alam tahun 2021 naik 76,9 persen dari tahun 2020. [WLC01]
Discussion about this post