Proyek korporasi pangan (food estate) yang terbukti gagal dan menimbulkan berbagai persoalan sosial ekologis seperti deforestasi, perampasan lahan, dan pelanggaran HAM, terus dipaksakan. Selain juga kemudahan importasi pangan dan kegagalan negara memastikan hak atas pangan terpenuhi. Juga terdapat netralitas karbon yang berpotensi menjadi sarana greenwashing bagi negara maju dan korporasi untuk tetap melakukan ekstraksi sumber-sumber agraria.
Baca Juga: Kisah Heroik Perempuan Panglima Angkatan Laut Malahayati di Panggung Teater
Netralitas karbon dalam skema perdagangan karbon berpotensi merampas kedaulatan masyarakat lokal dan masyarakat adat atas kedaulatan wilayah mereka. Akselerasi ekosistem kendaraan listrik juga memiliki catatan hitam dalam rantai pasok hulu hilir komoditas mineral seperti nikel. Ada jutaan hektar alih fungsi kawasan hutan, ratusan sungai dan pesisir tercemar hingga ratusan desa lingkar tambang yang hancur lingkungan hidupnya.
Semua kemudahan perampasan tanah atas nama pembangunan difasilitasi berbagai kebijakan dan peraturan perundang-undangan demi menciptakan iklim investasi sebaik mungkin. Sebut saja yang baru terjadi di Air Bangis, Pasaman Barat dan proyek Rempang Eco City di Batam, berbagai proyek infrastruktur dikebut dan dipaksakan dengan pengamanan aparat yang berlebihan. Anak dan perempuan menjadi korban terdepan dan tidak terhitung, baik di tataran rencana, implementasi dan dampak pembangunan yang tidak berkelanjutan.
Lalu ambisi proyek 10 Bali Baru di Labuan Bajo, Nusa Tenggara Timur (NTT) di balik gegap gempita pembangunan Kawasan Strategis Pariwisata Nasional (KSPN) Super Prioritas Labuan Bajo. Kenyataannya semakin menyengsarakan rakyat dan mencerabut akar budaya, sosial dan ekonomi masyarakat. Selain pemaksaan proyek geothermal yang mengorbankan rakyat di Poco Leok, di Golo Mori, Manggarai Barat juga terjadi pembangunan yang menggusur tanpa partisipasi, tanpa ganti rugi, bahkan dilakukan dengan kekerasan, intimidasi dan kriminalisasi. Hingga rangkaian KTT ASEAN berakhir, belum ada tanggung jawab negara menyelesaikan berbagai persoalan ini.
Baca Juga: Suparto Wijoyo: Hukum Jadi Solusi Atasi Krisis Iklim
Ruang hidup rakyat hilang akibat pembangunan skala besar akan mendorong banyak perempuan memilih menjadi buruh migran. Isu buruh migran pun menjadi penting dalam ASEAN. Skema migrasi buruh melalui perekrutan langsung secara online kemudian disalahgunakan agen penempatan yang berujung pada tindak pidana perdagangan orang (TPPO). Cengkraman aktor privat dan kegagalan negara ASEAN untuk membangun tata kelola migrasi di Asia Tenggara telah mereproduksi kerentanan perempuan buruh migran.
“Kami menuntut negara untuk menyudahi dan menghentikan berbagai praktik perampasan lahan,” demikian seruan masyarakat sipil. [WLC02]
Sumber: Jatam
Discussion about this post