Baca Juga: Data Sementara, Akibat Gempa Batang 3 Rumah Rusak Berat dan 4 Orang Luka
Sudah semestinya pemerintah merespon berbagai hal tersebut melalui pembaruan pengaturan mengenai konservasi lingkungan. Hal ini penting untuk menjawab tantangan isu lingkungan kontemporer. Pemerintah bersama DPR RI berupaya menjawab tantangan tersebut melalui pembentukan RUU Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya (RUU KSDAHE).
Sayangnya, RUU yang telah disiapkan sejak tahun 2016 ini, justru hanya akan menjadi RUU Perubahan atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya (selanjutnya disebut dengan RUU Perubahan UU KSDAHE). Sementara RUU Perubahan atas UU Nomor 5 Tahun 1990 tidak menjawab inti persoalan konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya, karena tidak mengubah paradigma konservasi yang dianut selama ini.
Walhi menyusun policy brief untuk menilik ulang substansi pengaturan dalam RUU Perubahan UU KSDAHE tentang KSDAHE. Beberapa poin kritis yang diabaikan dalam substansi dan proses dalam RUU Perubahan UU tentang KSDAHE.
Baca Juga: Akhir Pekan Banjir Luapkan Sungai di Bolaang Mongondow, Luwu dan Cirebon
Policy brief ini memberikan kesimpulan yang perlu untuk diperhatikan sebagai catatan kekurangan dari pembahasan RUU Perubahan UU KSDAHE, antara lain:
Pertama, pengaturan secara komprehensif dan berimbang peran pemerintah dengan masyarakat adat maupun komunitas lokal dalam penetapan dan pengelolaan kawasan konservasi dengan mengutamakan pendekatan berbasis HAM, yaitu melalui Padiatapa/FPIC.
Ketua, pengaturan ambigu yang memasukkan pemanfaatan jasa lingkungan panas bumi dalam kebijakan Konservasi SDAHE membuat pengaturan kebijakan konservasi setengah hati mengingat operasi ekstraksi panas bumi memiliki sejumlah dampak negatif terhadap lingkungan sehingga memiliki resiko tinggi bahaya terhadap biodiversitas.
Baca Juga: Gempa Bumi Dangkal M4,4 Dirasakan Masyarakat di Batang dan Pekalongan
Ketiga, pengaturan ambigu tentang pemanfaatan jasa lingkungan karbon yang merupakan bagian keniscayaan dari upaya konservasi lebih baik tidak perlu disebutkan dalam pengaturan. Sebab dapat memunculkan potensi perdagangan karbon yang justru menyesatkan tujuan dari kebijakan konservasi.
Keempat, mencegah segala bentuk potensi kriminalisasi terhadap masyarakat akibat kegagalan tata kelola konservasi yang tidak berbasis Hak Asasi Manusia.
Kelima, dalam perumusan kejahatan dan sanksi pidana, RUU Perubahan UU KSDAHE perlu aturan lebih lanjut mengenai konsep bentuk dan pola konservasi kawasan perairan dan pulau-pulai kecil serta bagaimana kejahatan yang dilakukan dalam kawasan konservasi di perairan oleh korporasi.
Baca Juga: Gajo, Tanaman Endemik TNGL yang ‘Hilang’ Setengah Abad Kini Ditemukan Lagi
Keenam, penambahan sanksi administrasi dan ganti rugi (perdata) dalam segala bentuk pelanggaran ketentuan dalam UU KSDAHE terhadap korporasi.
Ketujuh, dalam ketentuan pidana, perlu (penyesuaian pengaturan delik atau tindak pidana sesuai dengan rumusan tingkatan delik; tambahan delik mengenai kejahatan finansial yang berkaitan dengan kejahatan dalam SDAHE; aturan tambahan tentang biopirasi; pengaturan ulang sanksi pidana yang diterapkan untuk korporasi sebab dampak tindak pidana yang dilakukan oleh korporasi lebih masih dan serius.
Kedelapan, perlu penentuan batas minimum sanksi pidana dalam kejahatan SDAHE yang bertujuan untuk mengurangi disparitas pidana dan lebih memberikan pemberatan pidana terhadap tindak pidana yang sangat membahayakan atau merugikan orang.
Baca Juga: Booster Cair dari Endapan Silika Panas Bumi untuk Kesuburan Tanaman
Kesembilan, aturan-aturan penting dan umum terkait dengan SDAHE sebaiknya tidak didelegasikan ke peraturan pemerintah, melainkan dirumuskan di dalam undang-undang, seperti pengaturan tentang sumber daya genetik.
Kesepuluh, pengaturan pemulihan ekosistem yang diatur secara komprehensif dalam UU KSDAHE, sebab pemulihan adalah inti dari upaya perbaikan atas degradasi dan kerusakan SDAHE.
Kesebelas, pengaturan hak gugat pemerintah, masyarakat, dan organisasi lingkungan sesuai porsinya masing-masing atas terjadinya degradasi dan kerusakan SDAHE.
Baca Juga: KLHK Ajak Kadinas LH Pilah Sampah dari Rumah karena TPA adalah Tempat Residu
Kedua belas, dalam pembentukan RUU KSDAHE semestinya menerapkan asas keterbukaan dalam pembentukan peraturan perundang-undangan, dengan cara melibatkan partisipasi publik seluas-luasnya adar UU KSDAHE nantinya memiliki legitimasi yang kuat.
Berdasarkan catatan kesimpulan, Walhi memberikan rekomendasi kepada Pemerintah dan DPR melalui policy brief untuk:
Pertama, melakukan penolakan terhadap pengesahan RUU Perubahan KSDAHE.
Kedua, melakukan penarikan RUU sebagaimana dimaksud dalam Pasal 112 huruf d Peraturan DPR Nomor 2 Tahun 2020 tentang Pembentukan Undang-Undang.
Ketiga, merumuskan dalam RUU (baru), bukan dalam bentuk RUU (perubahan) mengingat kompleksitas rumusan norma penting yang menjadi ruang lingkup pengaturan. [WLC02]
Discussion about this post