Wanaloka.com – Rencana Kementerian Pertanian mengonversi jutaan hektare lahan karet menjadi kebun kelapa sawit menuai perhatian serius dari berbagai pihak, termasuk kalangan akademisi. Dosen Fakultas Pertanian UGM, Eka Tarwaca Susila Putra menilai kebijakan tersebut mengandung risiko besar, baik dari sisi teknis maupun ekonomi.
Secara ekonomi, ketergantungan pada satu komoditas sangat rentan terhadap fluktuasi harga global. Dalam konteks pertanian modern yang penuh tantangan, pendekatan monokultur kerap kali menjadi titik lemah dalam menjaga keberlanjutan produksi. Seharusnya strategi diversifikasi menjadi fondasi dalam menyusun arah kebijakan nasional.
“Budidaya kelapa sawit secara monokultur dalam lanskap yang sangat luas memiliki risiko tinggi, terutama jika terjadi ledakan hama penyakit,” ujar Eka, Kamis, 24 Juli 2025.
Baca juga: Ranggah Kijang Bercabang Dua, Ranggah Rusa Bercabang Banyak
Kebun campuran jadi solusi
Dari sudut pandang agronomi, konversi ini juga dianggap tidak rasional. Eka menyarankan pendekatan revitalisasi kebun karet dengan replanting menjadi langkah yang lebih aman dan berkelanjutan.
Ia juga menekankan pentingnya penerapan pola kebun campuran sebagai solusi untuk menghadapi fluktuasi harga. Kebijakan yang hanya mengejar tren harga sesaat justru menciptakan siklus ketergantungan yang merugikan petani. Dengan pola kebun campuran, petani memiliki ruang adaptasi yang lebih baik terhadap gejolak pasar.
“Konversi komoditas ketika harganya jatuh bukan pilihan bijak karena situasi semacam ini sudah berulang kali terjadi. Kita selalu mengulang kesalahan yang sama,” tegas dia.
Baca juga: Konflik Tenurial, BAM DPR Dorong Keadilan Bagi Warga di Kawasan Hutan
Alasan konversi yang dikaitkan dengan strategi hilirisasi dan ketahanan energi, Eka menyebut argumen tersebut tidak relevan. Menurut dia, peningkatan produksi CPO untuk mendukung program biosolar bisa dilakukan tanpa memperluas areal sawit.
Ia mencontohkan, jika produktivitas CPO ditingkatkan dari 3,5 ton menjadi 7 ton per hektare, maka produksi nasional bisa dua kali lipat tanpa perlu konversi lahan. Ia juga mempertanyakan mengapa justru bukan industri primer karet yang dihilirisasi untuk menopang stabilitas harga. Optimalisasi hasil dari lahan yang sudah ada menunjukkan pilihan kebijakan yang cerdas dan efisien secara sumber daya.
“Peningkatan produktivitas dari kebun sawit eksisting lebih rasional dibanding membuka lahan baru, apalagi dengan mengganti karet,” kata Eka.
Baca juga: Ikan Nila dan Mujair Berbeda secara Morfologis, Tak Jauh Beda dalam Reproduksi
Ia juga memperingatkan langkah ini bisa merusak keberlanjutan industri karet nasional dan posisi Indonesia di pasar global. Jika produksi menurun drastis akibat konversi besar-besaran, maka Indonesia berpotensi kehilangan pangsa pasar yang selama ini sudah dibangun.
Ketergantungan tunggal pada sawit juga dinilai berbahaya karena rentan terhadap harga dan perubahan iklim. Kehilangan posisi dalam statistik produksi global juga akan memengaruhi kepercayaan pembeli internasional terhadap komoditas kita. Hal ini akan mempersempit peluang ekspor dan memperlemah daya tawar Indonesia di sektor pertanian global.
“Jika produksi karet kita turun drastis, Indonesia bisa kehilangan posisi strategis di pasar dunia dan berisiko menjadi net importir,” jelas Eka.
Baca juga: MK Tolak Uji Formil UU KSDAHE, Dissenting Opinion Dua Hakim Sebut Ada Pelanggaran
Di tingkat petani, konversi ini tidak serta-merta menjanjikan peningkatan pendapatan. Sawit baru menguntungkan jika lahan yang dikelola minimal delapan hektare, sedangkan petani kecil rata-rata hanya memiliki lahan kurang dari dua hektare.
Discussion about this post