Wanaloka.com – Dukungan terhadap masyarakat Wadas, Kecamatan Bener, Kabupaten Kulon Progo yang menolak pengukuran lahan untuk penambangan batu andesit terus bergulir. Sebelas akademisi dari berbagai perguruan tinggi yang bergabung dalam Akademisi Peduli Wadas melakukan eksaminasi atau pengujian atas putusan majelis hakim terkait gugatan Surat Keputusan Izin Penetapan Lokasi (SK IPL) Wadas di Kantor Pusat Studi Anti Korupsi (Pukat) Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta pada 9 Maret 2022.
“Upaya ini untuk membantu publik menjernihkan masalah konflik lahan di Wadas dan kekerasan terhadap warga yang pernah terjadi 8 Februari lalu,” kata Ketua Majelis Eksaminasi, Rikardo Simarmata dari Fakultas Hukum UGM dalam siaran pers yang diterima Wanaloka.com, 10 Maret 2022.
Objek eksaminasi adalah menguji Putusan PTUN Semarang Nomor 68/G/PU/2021/PTUN.Smg dan Putusan MA Nomor 482K/TUN/2021 dengan penggugat warga Wadas dan tergugat Gubernur Provinsi Jawa Tengah Ganjar Pranowo. Putusan PTUN Semarang yang dipimpin oleh Ketua Majelis Ronny Erry Saputro serta Hakim Anggota Eka Putranti dan Ridwan Akhir menolak gugatan penggugat dan memenangkan tergugat.
Baca Juga: Ana Nadhya Abrar: Nilai Kemanusiaan Jadi Batas Kanan Jurnalisme dalam Penulisan Biografi
Sedangkan di tingkat kasasi, majelis hakim diketuai Hakim Agung Yulius dengan anggota majelis hakim agung Yusran dan Is Sudaryono. Majelis kasasi juga menolak kasasi warga dan menganggap putusan judex facti majelis hakim PTUN Semarang tidak bertentangan dengan hukum atau peraturan perundang-undangan.
Eksaminasi dibagi dalam empat sesi. Meliputi sesi pengujian putusan dari perspektif Hukum Administrasi Negara (HAN) dan Hukum Tata Negara (HTN) untuk menilai dua putusan ini. Kemudian mengulas putusan dari kacamata Hukum Agraria dan dari perspektif keadilan lingkungan.
Perspektif HAN: Mengesampingkan Primary Regulation
Dari perspektif HAN, Pakar HAN Fakultas Hukum Universitas Atmajaya Yogyakarta, Riawan Tjandra menemukan ada keterlambatan penyampaian jawaban tergugat kepada majelis hakim. Atas keterlambatan ini, majelis menganggap tergugat telah melepaskan hak atau kesempatannya untuk mengajukan jawaban. Sayangnya, Majelis Hakim PTUN Semarang justru mengisi kekosongan jawaban tergugat dengan menggunakan asas keaktifan hakim.
Baca Juga: Satu Mobil Terbawa Arus Banjir Bandang di Tuban, Satu Orang Dilaporkan Meninggal Dunia
“Padahal asas keaktifan hakim itu bertujuan “demi menyeimbangkan kedudukan penggugat”. Bukan “demi kedudukan tergugat” dalam sengketa TUN,” kata Riawan.
Dosen HAN dari FH UGM, Richo Adhi Wibowo juga mengkritik tajam majelis hakim dua putusan ini. Pertama, ia menganggap majelis hakim mengesampingkan primary regulation daripada delegated regulation. HAN pada hakikatnya ingin memberikan kewenangan kepada pejabat TUN untuk mengurusi dan mengatur masyarakat dalam rangka memberikan perlindungan terhadap masyarakat.
“Hakikat ini tidak dapat dicapai dengan mengesampingkan primary regulation,” kata Richo.
Delegated regulation belum teruji legitimasinya dalam sistem demokrasi karena merupakan kebijakan pejabat TUN. Sedangkan primary regulation lebih teruji dalam sistem demokrasi karena dikeluarkan oleh lembaga legislatif.
Baca Juga: Dampak Awan Panas Guguran Merapi, 253 Warga Mengungsi
Dosen HAN dari Universitas Mulawarman, Warkhatun Nadijah menganggap majelis hakim gagal dalam memahami fungsi esensial dan subtansial dari HAN. Masyarakat sejauh ini terlibat aktif dalam kebijakan pembangunan Bendungan Bener dengan mencari informasi dan data yang terkait dengan kebijakan ini. Namun Pemerintah Jawa Tengah dan penyelengara kegiatan Balai Besar Wilayah Sungai Serayu Opak (BBWSSO) justru enggan menyampaikan informasi yang seharusnya menjadi kewajiban keduanya dan menjadi hak bagi warga.
“Pemerintah Jawa Tengah baru memberikan informasi setelah SK IPL ditandatangani oleh Ganjar,” ucap Warkhatun.
Sikap pemerintah dan penyelenggara kegiatan pembangunan bendungan Bener yang tidak transparan sejak awal ini berpotensi menghilangkan hak konstitusional warga. Mengingat upaya hukum terhadap kebijakan TUN memiliki batas waktu 90 hari sejak dikeluarkan.
“Dan majelis hakim mengabaikan asas-asas umum pemerintahan yang baik,” tegas Dosen HAN Universitas Muhammadiyah Malang Cekli Setya Pratiwi.
Baca Juga: Usai Liburan Malah Tak Bersemangat, Itu Tanda-tanda Post-Holiday Blues
Majelis hakim hanya melihat aspek formil dan materiil dari norma administratif. Padahal antara kedua aspek dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan. Keduanya bersifat komplementer dan kompulsori, sehingga tidak dapat diabaikan begitu saja. Asa-asas umum pemerintahan yang baik termasuk prinsip yang harus dijadikan alat uji untuk mengukur benar tidaknya aspek formil dan materiil. Ada empat asa yang dikesampingkan majelis hakim, yaitu asas kepastian hukum, asas keberpihakan, asas kecermatan, asas keterbukaan dan keberpihakan.
Perspektif HTN: Keliru Menerapkan Asas
Discussion about this post