Baca juga: Kata Pakar Kelautan dan Pakar Hukum Agraria Soal HGB di Laut
Ia baru dihubungi kembali pada 2015 saat telah menyelesaikan program doktor. Ia mengikuti tahap seleksi berupa wawancara dan pemeriksaan kesehatan. Kemudian bergabung bersama lima orang peneliti Jepang dan dua orang lainnya dari Mongolia dan Thailand.
Menjadi peneliti di Antartika berarti harus mempersiapkan segala kemungkinan yang dapat terjadi. Nugroho pun mesti melewatinya. Selama sebulan, ia harus mengikuti pelatihan insentif seperti cara penggunaan peralatan di salju, tata cara berpakaian, pelatihan bertahan hidup di kondisi darurat, pendirian tenda, cara memasak dan buang air.
Kondisi Antartika dapat dibilang jauh berbeda daripada kondisi belahan dunia manapun. Nugroho mengenang Antartika bukan bagian dari Bumi, sebab kondisinya yang putih bersih sejauh mata memandang.
Baca juga: AMAN dan KPA Mengecam Penggusuran Rumah Masyarakat Adat di Sikka
“Saat itu, Antartika sedang musim panas sehingga matahari bersinar 24 jam setiap harinya, sedangkan suhu udara berkisar minus 5 derajat malam hari dan minus 2 derajat di siang hari,” kenang Nugroho.
Selain itu, kekosongan suara membuat suasana menjadi hening. Ia mengingat saat itu hanya ada suara ia dan timnya serta bunyi-bunyian es yang mulai mencair akibat perubahan iklim. Sesekali bertemu dengan penguin dan anjing laut Weddell.
Keseluruhan tim JARE 58 saat itu terdiri atas 80 anggota dan 35 orang di antaranya merupakan peneliti. Penelitian dibagi dalam 10 topik, antara lain meteorologi, atmosfer, biologi terestrial, oseanografi, geofisika, geodesi, dan geologi.
Proses penelitian berlangsung selama empat bulan pada 27 November 2016 hingga 22 Maret 2017. Namun waktu penelitian hanya dapat berjalan efektif selama 30 hari. Sebab cuaca di lokasi penelitian sangat ekstrim dan sering terjadi badai angin sehingga tidak jarang tim peneliti harus menunggu cuacanya membaik.
Menyingkap batuan tertua di Bumi
Setiap hari, tim geologi menjalankan rutinitas mengumpulkan sampel batuan metamorf di setiap lokasi penelitian. Ada delapan titik survei geologi yang mereka jelajahi, yaitu Akebono, Akarui, Tenmodai, Skallevikhalsen, Rundvageshtta, Langdove, West Ogul, Mt. Riiser Larsen.
“Kami berusaha menyingkap batuan metamorf, batuan tertua di Bumi berusia 3,8 miliar tahun yang ada di Antartika. Kami mencoba merekonstruksi ulang dan mendetailkan data-data yang sudah ada sebelumnya tentang batuan-batuan metamorf yang ada di Antartika, mulai dari komposisi, usia, lalu rekonstruksi proses pembentukan batuan-batuan tersebut,” papar dia.
Baca juga: Kementerian ATR/BPN akan Batalkan Sertipikat HGB di Luar Garis Pantai
Selama ekspedisi, Nugroho hanya menjumpai dua jenis batuan di lokasi penelitian. Batuan yang banyak ditemukan adalah batuan metamorf dan granitodis maupun perpaduan keduanya, yaitu migmatit.
Batuan dengan struktur sarang lebah atau yang dikenal dengan honeycomb structure banyak ditemukan pada batuan. Struktur ini terbentuk akibat gerusan angin dengan iklim kering di permukaan batuan. Jenis batuan yang ditemukan ini mirip dengan batuan di Sri Lanka. Sebab, dahulu, Antartika dan Sri Lanka merupakan satu daratan yang sama.
Ajak Pemerintah Indonesia peduli Antartika
Keikutsertaan Gerry dan Nugroho sebagai alumni UGM menjelajah Antartika mencatatkan nama mereka dalam Sejarah. Bahwa ada tujuh orang Indonesia yang telah sampai ke Antartika. Ini menjadi prestasi tersendiri bagi UGM untuk mendunia. Keduanya menyampaikan harapan agar hal ini tidak berhenti pada mereka saja.
Baca juga: Bencana Hidrometeorologi Melanda Jawa Tengah, 20 Tewas Akibat Longsor
“Semoga kawan-kawan UGM yang lain bisa melanjutkan ke Antartika,” harap Gerry.
Ia juga berharap Pemerintah Indonesia peduli dengan Antartika yang berada di samudera yang sama dengan Indonesia. Semua pihak perlu sadar bahwa saat Antartika bermasalah, dunia, termasuk Indonesia akan secara tidak langsung terkena dampaknya. Dengan demikian, Indonesia dapat menyiapkan lembaga riset Antartika untuk secara langsung hadir dan mengkaji Antartika.
Selaras dengan Gerry, Nugroho menyebut bahwa UGM dan Indonesia mesti bergegas menyikapi isu-isu strategis, seperti geopolitik dan perubahan iklim yang erat kaitannya dengan eksistensi Antartika saat ini.
“Antartika seperti mesin waktu yang menyimpan sejarah bumi di masa lalu dan dapat menjadi informasi untuk menyikapi kemungkinan-kemungkinan masa depan. Jadi perlu bagi kita untuk menyiapkannya,” harap Nugroho. [WLC02]
Sumber: UGM
Discussion about this post